Chapter 2 - à la prochaine

76.2K 4.5K 336
                                    

"Mr. Leonelle, aku minta maaf atas keterlambatanku. Ada festival lalu hujan sehingga membuat macet."

"Blaise already told me," jawab Kiev yang kini berjalan lebih dekat untuk memangkas jarak di antara mereka. "Bagaimana perjalanan dari Seattle? Menyenangkan?"

"Selain macet dan hujan, semuanya menyenangkan. Aku menikmati festival dari dalam mobil." sahut Kashi sembari mencoba menetralkan detak jantungnya yang semakin tak terkontrol.

"Nanti akan kuajak melihat langsung, kalau tidak hujan. Dan kalau kau tidak keberatan jalan-jalan denganku."

"Dengan senang hati."

"Kita belum berkenalan secara resmi," ujar Kiev sembari mengulurkan jabat tangannya. "Kiev Leonelle."

"K—Kashi Patlers."

"Apa yang membuatmu gugup? Apakah aku terlihat menyeramkan?"

"Tidak, aku tak bermaksud begitu. Tidak sama sekali."

Bagaimana pun Kashi harus menguasai dirinya meskipun bayang-bayang masa lalu terus menghantam benaknya, membuat aliran darahnya semakin tak terkendali. Pertemuan ini benar-benar telah membuatnya canggung. Sekuat tenaga ia coba yakinkan dirinya bahwa Kiev dan Harsh adalah orang yang berbeda. Tapi instingnya, berkata lain. Sulit berpikir dengan baik saat dirinya sedang dilanda serangan tak jelas. Tak mungkin ada dua manusia yang sama persis. Mungkin Kashi bisa saja mengubur masa lalu, tapi ia tak akan pernah bisa menyingkirkan seluruh ingatan tentang cinta pertamanya meski itu seribu tahun kemudian sekalipun. Bahkan kalau ada yang bertanya, ia tahu seperti apa cara Harsh bernafas.

"Kopermu, Nona." Blaise meletakkan koper beserta bawaan lain di sisi kiri tubuh Kashi.

Sementara supir itu sudah permisi untuk pergi, Kashi masih tak bisa berpaling dari Kiev yang kini sedang mengangkat jarinya untuk memanggil salah satu pelayan. Seorang wanita dengan seragam serba hitam pun datang membawa handuk berwarna hitam.

"Kau basah kuyup." kata Kiev sembari meminta izin dengan sopan untuk menyelimuti Kashi dengan handuk tersebut.

"Terima kasih, Mr. Leonelle."

"Kiev." ujarnya. "Panggil aku Kiev saja."

"Kau tak keberatan aku memanggilmu dengan nama?"

"Not at all. Panggilan dengan nama akan memberi kesan yang lebih akrab."

Sudut bibir Kashi terangkat sedikit, ia tak bisa tersenyum tapi bagaimana pun dirinya harus menyembunyikan segala ekspresinya saat ini. Ia tak ingin Kiev menyadari bahwa tingkahnya terkesan aneh. Jadi ia pun mengangguk ramah. "Baiklah, Kiev."

"Namaku terdengar bagus saat kau yang mengucapkannya."

Lagi-lagi jantung Kashi seperti akan meledak. Ia sama sekali tak mempersiapkan diri untuk kembali melihat senyum memabukkan itu. Jemarinya berkeringat di balik handuk, tubuhnya menggigil oleh sejuknya udara dan sengatan dari cara Kiev memandanginya. Ia ingin berpaling, lalu mencari pintu keluar untuk menenangkan diri dari luka di jiwanya yang kembali menganga. Tapi tubuhnya masih disitu. Tak bisa kemana-mana.

Lalu Kiev pun meraih pegangan koper Kashi. "Come, I will show you your room."

"Tuan Kiev, biar saya yang membawa kopernya—"

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang