Chapter 49 - mon kashi

16K 1.2K 307
                                        

Helikopter perlahan-lahan lepas landas.

Kiev setidaknya telah memberi pelajaran singkat cara menerbangkan helikopter kepada Kashi dan wanita itu cepat belajar. Sementara dirinya sudah siap untuk berganti tempat duduk jika seandainya Kashi mengalami kesulitan disana. Namun tampaknya dia sangat menikmati. Senyum merekah di wajah cantiknya. Pandangannya tertuju ke depan dengan ekspresi takjub ketika mereka semakin lama semakin naik ke atas.

Segala sesuatu yang ada di bawah sana kini mengecil. Mereka mengitari kawasan Grand Place—tempat dimana ada lebih dari lima ratus ribu bunga yang dirangkai membentuk karpet seluas 1.680 meter persegi. Kiev memberitahu Kashi bahwa karya seni tersebut didedikasikan kepada orang-orang Guanajuato di Meksiko yang kaya akan budaya dan tradisi. Lalu mereka melintasi gedung-gedung bergaya gotik dan taman-taman kota yang bersih.

Kashi benar-benar sangat menikmati penerbangan ini. Seumur-umur, ia tak pernah merasa gejolak rasa bahagia seperti yang dirasakannya sekarang. Mobil-mobil truk dan bus kini terlihat seperti mainan, rumah-rumah kecil, kepulan putih awan yang halus di depan mata, langit biru cerah, hamparan air laut di bawah kakinya, serta kapal-kapal yang tampak seperti perahu kertas di permukaan air yang tenang. Semuanya begitu indah hingga ia tak sanggup berkata-kata. Mereka sudah terbang mengelilingi hampir seluruh kota Brussels hingga tak sadar senja telah tiba. Sekali lagi Kashi tak dapat membendung rasa takjubnya saat menyaksikan matahari terbenam di garis cakrawala.

Terlalu indah.

Kashi menoleh pada Kiev, mengerjapkan matanya beberapa kali sambil tersenyum seakan-akan ia sedang mengucapkan terima kasih. Ia ingin menangis dan menghambur ke dalam pelukan pria itu saking bahagianya.

Rasanya ia tak ingin ini usai, namun hari sudah senja dan mereka harus mendarat sebelum gelap.

"Kita tak jadi jatuh dan mati." kata Kashi ketika mereka sudah turun dari helikopter.

Kiev hanya mengulas senyum sambil terus berjalan keluar dari landasan.

"Ayo kita ke Ferdoje malam ini." ajak Kashi.

"Ferdoje ada di urutan nomor empat."

"Siapa peduli?" Kashi berhenti di hadapan Kiev, menatapnya dengan matanya yang berbinar-binar penuh semangat. "Kita hidup di dunia tanpa aturan."

Kiev menghembuskan nafasnya lalu merangkul pundak Kashi dengan sebelah tangannya, menatapnya dengan senyum tipis yang selalu berhasil membuat Kashi mengagumi karismanya. "Dasar perempuan cantik yang serakah, ayo kita ke Ferdoje."

Kashi tersenyum semakin lebar.

Mereka berkendara hampir lima belas menit dari sana. Dan ketika tiba di Ferdoje, rupanya pasar kuliner tersebut belum buka. Kata seorang pedagang, pasar baru akan mulai pukul sembilan malam. Jadi Kiev dan Kashi memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar toko-toko pakaian tak jauh dari sana. Mereka mencoba kacamata-kacamata murahan dan aneh lalu masuk ke toko pakaian pria. Kashi mencoba kemeja hitam, celana jeans yang kebesaran di kakinya dan jaket kulit serta topi di fitting room.

"Bagaimana pendapatmu?"

Kiev mendekat, memandangi wajah Kashi yang sebagian ditutupi oleh topi itu. "Masih cantik." katanya.

"Aku harus terlihat tampan."

Kiev bergumam lalu memegangi pundak Kashi dan memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan cermin. Ia ambil sejumput rambut Kashi lalu diletakkannya di antara hidung dan bibir wanita itu—membentuk kumis. "Pakai kumis palsu."

"Kau benar. Aku tidak berpikir sampai kesana."

"Percayalah, bola mata para gay itu akan jatuh ke lantai karena melihat pria paling tampan yang pernah ada."

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang