Chapter 36 - un vrai monstre

20.3K 1.7K 237
                                    

"Beri dia waktu, Kashi. Jangan cemas, sikapnya itu justru normal. Aku akan bicara dengannya nanti." kata Bibi Micka ketika mereka sedang sarapan.

"Aku tak pernah melihatnya seperti itu, dia pasti sangat terguncang, bingung dan marah kepadaku."

"Kita semua melakukan itu demi kebaikannya, dia akan paham nanti." kata ayahnya.

Kashi mengangguk. "Omong-omong bagaimana kabar Matthias? Aku belum melihatnya dari kemarin."

"Dia selalu berlagak sibuk."

"Kau cari aku, Tuan Putri?" Matthias muncul dari pintu depan, berjalan pincang ke arahnya dengan sebuah paperbag di tangannya. "Maaf kemarin aku tak bisa hadir. Ayah benar, aku sedang disibukkan dengan pekerjaan."

"Kau punya pekerjaan sekarang?"

"Ya, akhirnya aku tak direndahkan lagi oleh ayahku, dan dibandingkan dengan kesuksesan adikku yang hebat ini." kata Matthias. "Ini kado ulang tahunmu."

Kashi menerima pemberian Matthias namun ia tak langsung membukanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Matthias mengangguk dan menarik kursi kosong di meja makan.

"Omong-omong aku datang untuk mengundang kalian semua ke peresmian klub sepak bola yang baru saja kubeli. Acaranya besok, jangan sampai tidak datang."

"Kau membeli klub sepak bola?"

"Ya. Seattle Sounder FC kini milikku."

"Dari mana uangnya?" tanya River.

"Bisnis."

"Bisnis apa?"

"Tolong hargai saja, Ayah. Setidaknya tunjukkan sedikit rasa banggamu walau hanya pura-pura." Lalu Matthias menoleh pada Kashi. "Berapa lama kau di Seattle? Kau akan datang, kan?"

"Aku sudah mengatur jadwal terbang pagi ini. Aku akan pesan papan bunga. Semoga acaranya sukses."

Matthias mengangguk dan tersenyum kecut, kentara sekali kalau sebenarnya dia menyimpan rasa malu dan sesal karena perlakuan buruknya terhadap Kashi di masa kecil.

Usai sarapan dan berpamitan pada keluarganya, dengan seorang supir, Kashi menuju landasan pesawat terbang. Pesawat pribadinya telah siap menerbangkannya kembali ke Marseille. Ketika Kashi memandangi warnanya, wajah Harsh langsung tergambar di dalam benaknya. Membayangkan pria itu sedang menunggu kepulangannya. Selama Kashi di Seattle, pria itu tak sekali pun menghubunginya. Mungkin dia tak ingin mengganggu waktu Kashi bersama keluarganya. Sejak ia berangkat dirinya sudah tak enak hati namun kini ketika ia bahkan sudah kembali pulang, justru kegundahannya semakin menjadi-jadi karena sesampai di La Joliette, ia tak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan disana.

Rumah itu sama seperti saat ditinggalkan dua hari yang lalu. Bahkan isi kulkas tak ada yang berkurang ataupun bertambah. Dan yang semakin menguatkan kecurigaannya adalah tempat makan dan minum Katrina kosong sementara isi wadah makanannya sebagian tumpah ruah ke lantai, menandakan kalau kucing itu berusaha mencari makannya sendiri.

Bukankah Harsh berjanji akan merawat Katrina? Lalu kemana pria itu selama dua hari?

Katrina kemudian keluar dari persembunyiannya, mengeong dan menyundulkan kepalanya di kaki Kashi. Setelah mengusap dan memberinya air, Kashi mencari Harsh di kamar mereka namun tak ada siapa-siapa. Kamar itu juga sama seperti sebelumnya, masih rapi, menandakan Harsh sama sekali tak masuk kesana.

"Harsh?" panggilnya.

Tak ada jawaban.

Kashi mencarinya ke halaman belakang, tak ada. Di istal kuda, tak ada. Ia mencarinya di beberapa ruangan lain di lantai satu namun tetap tak ada siapa-siapa. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk naik ke lantai dua.

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang