Chapter 54 - vengeance

11.7K 1.1K 392
                                    

Warning!
This chapter contain suicide scene.

Warning!This chapter contain suicide scene

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

8 years ago.

Enam bulan belakangan menjadi awal mula masa-masa tersulitku.

Setiap malam aku mengigau dalam tidurku. Menangis dalam tidurku. Berjalan dalam tidurku. Aku mengurung diriku di dalam kamar berhari-hari. Bibi Micka mengatakan bahkan aku sempat berhalusinasi satu kali. Katanya malam itu—saat aku pulang larut—dia bertanya aku dari mana saja dan kujawab aku pergi makan malam dengan ibuku. Padahal ibuku sudah meninggal saat melahirkanku. Aku hanya tahu seperti apa wajahnya dari foto yang terpajang di dinding rumah. Tetapi rasanya aku benar-benar duduk di restoran, berbincang-bincang dan makan malam bersama wanita di dalam foto itu.

Aku depresi. Emosiku tak stabil.

Orang terdekatku akhirnya mulai menyadari perubahan dalam diriku. Namun aku menyangkal. Aku bilang pada mereka—terutama diriku sendiri—bahwa aku baik-baik saja. Aku tak terima dan begitu marah saat ayahku menyarankan agar aku mengunjungi psikiater. Aku tak butuh psikiater. Aku tak ingin menunjukkan pada para monster itu bahwa mereka berhasil menghancurkanku.

Aku tidak hancur. Tidak akan pernah.

Jadi aku menghabiskan hampir dua puluh empat jamku dalam sehari untuk belajar dan belajar. Aku harus lulus, kuliah dan menjadi psikiater agar tak ada lagi yang menyangka aku gila.

Agar aku percaya aku tidak gila.

Pernah secara tidak langsung, aku bertemu lagi dengan Harsh di sebuah restoran bintang lima. Dia menggandeng gadis muda baru, yang umurnya mungkin sama denganku. Dia membelanjakannya dengan barang-barang mewah dan bermesraan layaknya sepasang kekasih. Dia melihatku, aku melihatnya. Aku sama sekali tak akan memindahkan tatapanku dari wajahnya. Sambil memotong steak yang kupesan, akan terus kulihat dia sampai dia sendiri yang harus memalingkan wajahnya dariku. Dan dia melakukannya. Dia berpaling untuk mencium gadisnya dan bersikap seolah tak pernah terjadi apapun di antara kami berdua. Mereka kembali mengobrol seolah aku adalah orang asing yang tak perlu diperhitungkan keberadaannya. Aku tak tahu apakah itu hanya ada di dalam khayalanku, atau memang kenyataannya seperti itu.

Itu tak penting lagi.

Yang penting, hubunganku dengan dia sudah lama berakhir walau mimpi buruk tentangnya tak pernah pergi.

Sore itu, sama seperti setiap sore di rumahku. Tak ada satu orang pun. Hanya ada dua pelayan. Ayahku dan Bibi Micka sibuk bekerja. Matthias memang jarang di rumah. Itu bagus karena kehadirannya tak berguna bagiku. Aku sendirian, duduk di teras halaman belakang sambil menatap udara kosong. Aku menghisap rokok. Entah sudah berapa lama aku duduk melamun seorang diri disana, larut di dalam trauma yang menghuni jiwaku. Lalu pandanganku beralih pada pergelangan tanganku. Tato inisial K&H masih terukir disana. Entah apa yang kuharapkan selama ini hingga masih membiarkan inisial sampah itu ada di nadiku.

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang