Saint Pierre Cemetery, Marseille
"Kita tidak dapat melakukan apa pun yang lebih baik atau lebih besar bagi orang-orang yang telah wafat selain berdoa bagi mereka, mempersembahkan peringatan untuk mereka dalam Liturgi. Mereka selalu membutuhkan hal ini. Tubuh tidak lagi merasakan apa-apa; tidak melihat orang-orang terdekatnya yang berhimpun, tidak membaui wangi bunga-bunga, tidak mendengar orasi-orasi saat pemakaman. Tetapi jiwa merasakan doa-doa yang dipersembahkan baginya serta berterima kasih kepada mereka yang melakukannya dan secara rohani dekat dengan mereka."
Tak banyak yang menghadiri pemakaman Dahlia. Bahkan bisa dihitung jari. Yang ada disana menundukkan kepala mereka sedikit dengan tangan berada di depan. Satu orang wanita—yang katanya adalah bibi Dahlia—terlihat sedang mengusap sudut matanya yang berair. Dia memeluk Kiev dan terisak tanpa tahu pria itu lah yang telah membunuh keponakannya. Sementara Kiev mengusap pundak wanita paruh baya itu seperti seseorang yang tak bersalah sama sekali.
"Terima kasih sudah menjaga Dahlia selama ini," ucap wanita itu. "Semoga siapapun yang melakukan ini padanya tak akan pernah hidup tenang."
Kashi membenarkan kerudung renda hitam yang ia kenakan sambil menatap lima batu nisan yang berdampingan lewat kacamata hitam yang menutupi wajahnya. Orang-orang yang terbaring disana adalah keluarga Harsh. Teringat di dalam benaknya hari dimana Harsh menunjukkan album berisi foto-foto mereka dan cara dia menceritakan betapa dia menyayangi mereka membuat dada Kashi terasa tersayat. Kini tak ada satu pun yang tersisa.
Bagaimana Kiev bisa menjalani kehidupan yang begitu berat ini? Dengan tangan yang sama, dia menyayangi sekaligus merenggut nyawa mereka.
"Bapa dari segala, kami berdoa kepada-Mu bagi Dahlia, dan semua orang yang kami cintai namun tidak lagi kami lihat. Anugerahkanlah kepada mereka istirahat kekal. Biarlah cahaya abadi menyinari mereka. Semoga jiwanya dan jiwa-jiwa mereka yang telah berpulang, melalui belas kasih Allah, beristirahat dalam damai. Amin."
"Kita naik private jet mu." kata Kiev dalam perjalanan mereka menuju landasan pesawat terbang pribadi. Mereka akan kembali ke Brussels.
"Kau tak masalah naik pesawat itu?"
"Kenapa?"
"Itu pesawat yang dibelikan Harsh untukku. Sepertinya kau tak akan nyaman." kata Kashi dingin.
Kiev tak berkata apa-apa.
Mereka tak bicara lagi selama di dalam pesawat. Bahkan hingga pesawat tiba di Brussels beberapa jam kemudian pun, mereka masih tidak saling bicara satu sama lain.
Lewat kacamata hitam yang dikenakannya, Kiev memandang keluar jendela begitu mobil meninggalkan bandara. Kakinya bersilang, jemarinya mengetuk-ngetuk pegangan pintu untuk sekedar mencari kesibukan di tengah keheningan yang melanda. Setelah beberapa saat, Kiev akhirnya menoleh ke samping untuk melihat ekspresi Kashi. Wanita itu diam seribu bahasa, berusaha tak membalas tatapannya sama sekali dengan tetap melihat lurus ke depan. Kiev ingin membuka suara, mengajaknya mengobrol, namun ia enggan. Rasa cemas akan diabaikan mengurungkan niatnya sehingga ia pun kembali membuang mukanya keluar jendela.
Namun akhirnya Kiev menghembuskan nafas dan mengalah. "Kashi," panggilnya dengan nada rendah. "Aku minta maaf."
Kashi diam saja sambil memindahkan tangannya yang berada dekat dengan paha Kiev saat tahu pria itu mungkin akan menyentuhnya. Kata maaf, ia merasa tak perlu mendengarkan permintaan maaf sama sekali. Apa gunanya?
"Maaf."
Pandangan Kashi tertuju ke depan, namun ia dapat merasakan cara Kiev menatapnya. Pria itu menatapnya dengan cara yang mungkin akan membuat siapa saja berpikir bahwa dia punya hati yang baik dan tulus.
![](https://img.wattpad.com/cover/320784360-288-k286214.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CLIMAX
RomanceLeonelle #3 Memiliki profesi sebagai seorang psikiater telah membuat Kashi Patlers terbiasa menghadapi pasien-pasien dengan gangguan mental. Ia ahli dan kompeten. Banyak yang berhasil sembuh usai dirawat olehnya. Namun keahlian tersebut malah menyer...