Chapter 3 - passé

77.5K 3.9K 207
                                        

Kashi baru saja berulang tahun yang ke 16 ketika pertama kali bertemu dengan Harsh.

Hari itu bertepatan pula dengan hari kematian ibunya. Alih-alih pergi merayakannya, ia memilih untuk mengunjungi makam sang ibu sepulang sekolah. Matthias— kakak laki-lakinya— sudah menggerutu sejak disuruh ayah mereka untuk menjemputnya di sekolah hari ini.

Ketika Kashi sedang merapikan karangan bunga, Matthias kembali mengomel. "Lebih baik kau bersenang-senang saja dengan teman-temanmu. Ini hari ulang tahunmu, rayakan dengan minuman keras, ganja, dan seks. Bukannya di kuburan."

Kashi menghela nafas dan tak berniat menjawab ocehan Matthias.

"Lagipula untuk apa kau mengunjungi ibu lagi? Bahkan ayah pun sudah tak pernah lagi datang. Semua orang sudah melupakannya. Kenapa kau belum? Mau minta maaf sampai mulutmu berbusa? Tidak bisakah kau membuat ibu tenang?"

"Ayah selalu mengunjungi makam ibu, kau saja yang tidak tahu."

"Baiklah, terserah kau saja. Aku tak peduli ayah mengunjungi ibu, pelacur, Bibi Micka, atau siapapun terserah dia. Yang penting kau harus cepat kalau tak mau kutinggal dengan para hantu di pemakaman ini." Matthias mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya lalu mengencangkan volume musik rock— ingin menegaskan bahwa dia sudah tak mau lagi dengar apapun dari mulut Kashi.

"Setidaknya kecilkan volume musikmu, kau sedang di pemakaman."

"Kau sungguh pengganggu. Pertama, kau membuat aku menjemputmu. Kenapa tak pulang saja dengan taksi, Anak manja?"

"Kampusmu hanya dua blok dari sekolahku. Lagipula kenapa bukan kau saja yang mengarang alasan seperti biasanya saat kau tak mau lakukan apa yang ayah minta?"

"Ayah akan membekukan kartu kreditku."

"Kalau begitu, itu masalahmu, terima saja dan jangan mengomel padaku. Aku bisa saja pulang naik taksi—"

"Sudahlah, cepat sana pergi!" Matthias melambaikan tangannya tak sabar.

Kashi langsung melangkahkan kakinya turun lalu membanting pintu mobil dengan kencang. Ia tak peduli dengan makian Matthias di dalam sana karena telah memperlakukan mobil kesayangannya dengan buruk sehingga ia terus berjalan masuk ke dalam pemakaman. Hari itu sepi, hanya ada dua orang pengunjung yang sedang menabur bunga sambil bersedih. Dan sekarang menjadi tiga dengan kehadirannya.

Ia selalu merasakan nyeri di relung hatinya setiap kali melihat nisan dengan tulisan 'Camila Silva' itu. Seolah nafasnya berhenti sejenak.

Ia bahkan tak tahu seperti apa rupa ibunya secara langsung. Selama ini kepalanya hanya merekam wajah cantik bermata biru, berambut coklat dan berkulit bersih yang ia lihat di dalam foto-foto koleksi ayahnya. Karena ibunya meninggal ketika melahirkannya. Matthias yang masih berusia tujuh tahun kala itu langsung mengibarkan bendera perang kepadanya. Meskipun semua tak mau lagi bicara tentang ibunya, tapi Kashi tahu bahwa mereka mencintainya.

Kepergiaannya membuat seisi rumah terpuruk dalam kesedihan.

Tak jarang Matthias mengutuk Kashi dan menyebutnya pembunuh. Dan ayah mereka harus memukulnya demi membuat dia berhenti. Hal itu membuat kebencian Matthias semakin menjadi-jadi sampai ia tak segan-segan melukai. Semua perlakuan buruknya membuat Kashi begitu paham tentang luka yang disebabkan oleh kehilangan. Mungkin kalau dirinya berada di posisi itu, ia pun akan melakukan hal yang sama. Siapa yang tidak membenci orang yang sudah merenggut ibumu?

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang