Chapter 6 - histoire

64.9K 4K 173
                                        

Haruskah ia menjawab ; Harsh adalah kau, cinta pertamaku, pria yang telah mencuri hatiku untuk dipatahkan. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi padamu. Apakah kau berkeperibadian ganda, atau waktu itu kau memang sengaja menipuku tentang namamu karena hanya ingin main-main saja? Atau bisa jadi setelah menembak dua pelacur yang kau tiduri kau terpeleset lalu kepalamu terbentur tembok dan hilang ingatan sehingga lupa diri? Atau sebenarnya kau ingat segalanya tapi berlagak seperti orang gila karena tahu sekarang aku sudah menjadi psikiater sehingga kau mau membodoh-bodohiku lagi?

Namun, Kashi tak akan memberi jawaban macam itu. Profesinya membuat ia terpaksa harus bersikap profesional. Apapun yang ia alami dan rasakan di masa lalu, tak boleh mempengaruhi pekerjaannya sama sekali.

"Dia hanya seseorang yang pernah kukenal." jawab Kashi akhirnya.

"Dimana kau bertemu dengannya?"

"Di sebuah cafè, atau supermarket. Aku sudah lupa."

Kiev menghentikan langkahnya untuk menoleh pada Kashi yang berada satu langkah di belakangnya. "Jawabanmu tidak sinkron dengan cara kau memandangiku kemarin."

"Seperti apa caraku memandangimu?"

"Tatapan memuji dan penuh kerinduan. Seolah saat melihatku, lubang yang kosong di dalam hatimu terisi begitu saja. Dari sana aku tahu pasti tak ada satu pun yang kau lupakan darinya."

"Itu tak benar, kejadiannya sudah lama sekali, saat aku masih remaja. Wajar jika ada hal-hal yang terlupakan."

Kiev terdiam sejenak, memberikan Kashi ekspresi tak percaya yang kental, namun ia membiarkan mereka diam disana dan itu membuat kebohongan Kashi semakin muncul jelas.

"Seharusnya kita bisa saling terbuka dan bicara jujur." kata Kiev kemudian.

"Aku tak bisa memaksa otakku untuk mengingat hal-hal, Mr. Leonelle."

Lagi-lagi Kiev memasang ekspresi yang sama seperti sebelumnya.

"Dalam hal ini kau tak berhak menginterogasiku. Kau mengorek-ngorek kehidupan pribadiku dan itu tak tertulis dalam perjanjian kerja kita. Jika aku kesal, itu sudah sewajarnya." ketus Kashi.

"Dokter Shu tak mengatakan bahwa kau jenis psikiater yang temperamental."

"Aku temperamental?"

"Menjadi dokter harus banyak sabar, Kashi."

"Aku sudah sangat sabar." Kashi mengatakannya dengan sebuah senyum profesional yang terpaksa.

Bola mata mereka bertemu dalam satu tatapan selama beberapa saat, seolah mereka berdua sedang menelanjangi pikiran masing-masing. Tatapan dari bola mata rupawan itu— meski begitu menggoda— ternyata mampu mengintimidasi dengan sangat lihai. Laki-laki ini memang tak ingat sama sekali atau dia sangat pandai bersandiwara? Kenapa tak ada satu pun psikiater yang mampu mendalami kondisi kesehatan mentalnya? Apakah karena sebenarnya dia tidak... gila? Atau mungkin sangat gila sampai akal sehatnya lumayan sulit untuk menjangkau pikiran pria itu.

Pikiran-pikiran seperti itu mulai menyiksa Kashi. Tetapi ia tak bisa mengatakan apapun sebelum mengenal pria itu lebih jauh. Sampai saat ini, ia hanya akan ikut saja permainannya.

"Aku minta maaf, aku tak bermaksud untuk tidak sopan." kata Kashi akhirnya.

"Sekarang aku paham."

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang