Setiap sentuhan yang ditinggalkan oleh Kiev masih membekas di sekujur tubuhnya.
Darahnya berdesir saat mengingat cara pria itu menyentuh bagian-bagian sensitif miliknya. Ia berkedut dan meringis geli— seolah pria itu masih membenamkan wajahnya di bawah sana. Bahkan sekarang pun ia seperti sedang merasakan kecupan-kecupan panas Kiev di permukaan kulitnya yang gemetar. Pria itu memenuhi dirinya sampai-sampai ia tak punya lagi ruang untuk hal lain. Kashi tak ingin pagi cepat-cepat datang tapi kalau pun harus, ia ingin tetap berada di tempat ini menantikan matahari terbit dengan tubuh telanjangnya yang terbaring lunglai di atas sprei satin berantakan, kaki yang membelit kaki Kiev, kepala yang tidur di lengan pria itu sambil mendengarkan nafas serta detak jantungnya yang merdu di udara yang sejuk ini.
Ia sudah tak sabar memenuhi mulutnya dengan milik pria itu. Membayangkannya saja berhasil membuat tubuhnya menggigil. Ini bukan hanya sekedar seks tapi lubang kosong dihatinya seperti terisi begitu saja.
Namun ketika membuka mata, ia tak menemukan siapa-siapa disana.
Ia terdiam lalu tiba-tiba merasa menyesal dan malu dengan apa yang terjadi semalam. Seharusnya ia tak bersikap tak sopan seperti ini di awal perkenalan mereka. Bagaimana pun Kiev pasti lah tak mengenalinya seperti yang ia harapkan. Malah sekarang ia bertingkah layaknya perempuan jalang yang haus akan seks.
Sekarang entah dimana pria itu berada.
Mendadak jantungnya berdetak lebih cepat tapi bukan karena sisa-sisa pengalaman seks menggairahkan semalam melainkan karena ada perasaan takut akan kehilangan. Kashi langsung beranjak ke jendela untuk melihat suara berisik apa di bawah sana. Dua buah truk dan dua mobil hitam baru saja parkir di lahan terbuka. Lalu orang-orang berbaju hitam turun dari sana— mulai sibuk bicara satu sama lain. Dari salah satu mobil hitam disana, Kenya turun sembari bicara lewat telepon. Wajahnya tampak panik sebelum ia berjalan ke dalam gedung dan hilang dari garis pandangan Kashi.
Apakah mereka mendapatkan masalah? Apakah ketahuan sudah merampok? Pikiran-pikiran seperti itu lah yang muncul di kepala Kashi saat melihat situasi yang tak terlihat baik itu.
Baru saja ia hendak pergi membasuh wajahnya ke kamar mandi, pintu di ketuk.
"Nona Kashi, kau di dalam?"
Suara asing itu membuat kening Kashi berkerut tapi kemudian ia langsung membuka pintu. Orang yang ia temui disana adalah pria dengan setelan rapi— kemeja hitam dan jas abu-abu gelap. Sama seperti pakaian yang di pakai oleh Blaise.
"Saya Timothi, orang yang ditugaskan untuk menjemputmu." Pria bernama Timothi itu menyerahkan sebuah paperbag berwarna coklat. "Dan ini pakaian bersih."
"Kiev dimana?"
"Tuan Kiev sudah kembali ke Brussels dua jam yang lalu."
Kashi terdiam tak percaya. Kenapa pria itu kembali seorang diri dan tak mencoba membangunkannya?
"Ada masalah apa diluar sana?" tanya Kashi lagi.
"Saya tidak tahu."
"Apa Kiev baik-baik saja?"
"Saya hanya ditugaskan untuk menjemputmu, Nona."
"Ditugaskan oleh siapa?" tanya Kashi curiga.
"Tuan Kiev."
"Ditugaskan oleh Kiev untuk menjemputku kembali ke Brussels atau... kemana?"
"Benar, Nona, kembali ke Brussels."
Kashi pun memberitahu Timothi untuk menunggu selama ia bersiap-siap. Ditutupnya pintu kamar lalu ia berhenti sejenak. Perasaannya langsung berubah tak enak. Kebahagiaan yang ia rasakan beberapa saat lalu hilang entah kemana, tak bersisa sedikitpun. Sudah jelas ada yang tidak beres dengan Kiev. Dia tidak mungkin tiba-tiba meninggalkan Paris sementara mereka akan memusnahkan narkoba hasil rampokan pagi ini. Tapi masih untung pria itu memintanya kembali ke Brussels bukan memulangkannya ke Seattle seperti waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLIMAX
RomanceLeonelle #3 Memiliki profesi sebagai seorang psikiater telah membuat Kashi Patlers terbiasa menghadapi pasien-pasien dengan gangguan mental. Ia ahli dan kompeten. Banyak yang berhasil sembuh usai dirawat olehnya. Namun keahlian tersebut malah menyer...