Jam telah menunjukkan pukul 06.00 pagi ketika Kiev keluar dari sana. Dengan sedikit terhuyung, ia menenteng mantel dengan tangan kirinya dan mengancing kemejanya dengan tangan kanan. Langkahnya terhenti sejenak saat melihat Kashi sedang duduk menunggunya di pinggir trotoar bersama seorang penjaja kopi jalanan yang tengah membuatkan kopi panas untuknya.
"Selamat pagi." sapa Kiev.
"Selamat pagi."
"Buatkan aku espresso." kata Kiev pada si penjaja kopi tersebut.
Usai menyerahkan gelas kopi untuk Kashi, si penjaja pun mulai sibuk membuatkan espresso untuk Kiev. Kashi menyesap kopinya pelan-pelan. Melihat ada noda di bibir Kashi, Kiev berinisiatif mengusap dengan ibu jarinya.
"Terima kasih." ucap Kashi.
Kiev mengangguk sekilas sebelum menjawab. "Sama-sama."
Ketika kopinya siap, mereka pun berjalan menyusuri trotoar menuju rumah.
"Kau tak pulang semalam?" tanya Kiev.
"Tidak."
"Menungguku?"
"Apa lagi kalau bukan menunggumu?"
"Kenapa?"
Kashi menoleh pada Kiev sejenak sebelum ia kembali menatap lurus ke depan sambil terus berjalan. "Mungkin karena aku tak ingin mengulang apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Saat aku pergi untuk merayakan ulang tahunku di Seattle, pulang-pulang harus melihatmu dalam keadaan babak belur."
"Jadi menurutmu jika kau disana sepanjang malam, kau bisa mencegah apa yang terjadi?"
"Setidaknya saat kau terbangun, aku ada disisimu dan ada salah satu di antara kita yang tahu apa yang terjadi padamu."
"Blaise mengatakan ada yang menyerang Harsh hari itu. Saingan bisnisnya. Tak mengherankan, dia punya banyak musuh. Namun kalau bukan karena mereka, mungkin aku tak akan pernah bangun dari tidurku," Kiev menyesap kopinya lalu menoleh pada Kashi sambil tersenyum tipis. "Terima kasih karena sudah menjagaku semalam."
"Ya, sama-sama." sahut Kashi.
Lalu mereka berdua tertawa kecil.
"Bagaimana perasaanmu pagi ini?" tanya Kashi kemudian.
"You really want to know?"
"Ya, sebagai dokter." tukas Kashi. Sebagai seorang dokter, Kashi harus tahu apa yang dirasakan pasiennya. Namun sebagai seorang kekasih, ia lebih baik mati dari pada harus mendengar cerita kekasihnya yang semalam tidur dengan wanita lain.
"Aku tak ingin menyakitimu."
"Aku sudah kebal."
"Semalam sangat menyenangkan sekaligus melelahkan."
"Kau senang?"
"Ya."
Kashi hanya mengangguk sambil mengulas sebuah senyum kecut. Sementara di dalam, hatinya tercabik bukan main. Bayang-bayang Kiev meniduri wanita berbaju hijau itu langsung singgah di dalam benaknya. Desahan wanita itu, erangan Kiev. Semuanya berdengung di telinganya. Ia ingin marah, ingin memaki, ingin menghajarnya. Ia masihlah wanita normal yang punya perasaan. Namun hal itu tak boleh melemahkannya. Ia tak boleh memainkan peran sebagai wanita pencemburu dan lemah. Baik fisik dan mentalnya tak boleh goyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLIMAX
RomansaLeonelle #3 Kashi Patlers adalah seorang psikiater yang bertugas menyembuhkan Kiev Leonelle, pria yang mengalami gangguan mental akibat trauma masa kecil yang hebat. Trauma tersebut telah memunculkan sisi gelap di dalam jiwa Kiev. Namun sanggupkah K...