39

1.3K 60 0
                                    

"Gue cuma mau ke toilet sebentar!"

"Ya gak boleh!"

"Gue udah kebelet banget!"

"Di sana aja!"

"Awas lo! Orang udah gak tah--- aaakkk sakit."Raden meringis kesakitan memegangi kakinya yang di balut perban.

"Nah kan apa gue bilang," Putra yang panik seketika menaikan kembali kaki Raden.

"Tapi gue udah kebelet!"

"Tapi Lo gak bisa ke toilet! Kaki Lo pincang entar kalo di toilet kepeleset gimana hah?!"

"Gue bakalan hati-hati!"

"Banyak omong!" Arik yang jengah dengan kelakukan mereka berdua yang terus beradu mulut mengangkat tubuh Raden dan membawanya ke toilet.

"Keluar!" Raden mendorong tubuh Arik saat sudah dirinya di dudukan di kloset. Arik pun hanya mengikuti perintah Raden dan menunggu di depan pintu toilet.

"Kalo ada tulang yang patah, awas aja Lo!" Putra menunjuk Arik.

"UDAH!" Teriak Raden dari dalam kamar mandi. Arik yang mendengar teriakan melengking itu langsung masuk dan berniat mengangkat tubuh Raden kembali tapi malah di tolak mentah mentah oleh sang empu.

"Gue bisa sendiri! Lo di belakang aja, kalo gue jatoh entar Lo tangkap ya!" Ucap Raden. Dengan bantuan tembok Raden berjalan pincang memaksakan kakinya untuk bergerak, karena dia ingat betul kata-kata orang yang pernah satu kost-kostan dengan Raden waktu itu.

Saat itu Raden kepeleset di kamar mandi, yang menyebabkan kakinya terkilir, tapi karena Raden tidak mau di bawa ke klinik, akhirnya teman-teman yang ada di sana memanggilkan tukang urut dan tukang urut itu berkata 'jika terkilir seperti ini jangan terlalu di rasa, gerakakin aja sebisa mungkin, entar kalo terus di rasa, rasa sakitnya akan semakin lama'

Raden berhasil berjalan setengah, tapi dia kesakitan ketika kaki yang sakitnya malah kepentok lemari, sungguh kesialan yang sangat hakiki, sudah sakit ke pentok pula.

Untung saja Arik ada di belakang, jadi Raden tidak terjatuh ke lantai.

"Aw AW AW sakit banget," Raden memegang kakinya yang kesakitan.

"Udah lah gue beliin kursi roda aja," putra mengambil hp nya untuk menelpon seseorang.

"Tongkat," ucap Arik.

"Gak! Gue bilang kursi roda ya kursi roda! Jangan banyak ngomong Lo! Diem!" Ucap Putra.

"Buat siapa?"

"Buat Lo!" Ucap Arik dan Putra secara bersamaan menjawab pertanyaan Raden.

"Gak usah, gue masih bisa jalan, ta--tadi kan cuma kepentok lemari doang, lagian siapa yang taruh lemarinya di sana?!"

"Kursi roda or tongkat?" Tanya Arik dengan cara yang sadis, ya sadis karena dia mendekatkan wajahnya yang menyeramkan itu ke wajah Raden. Sungguh menyeramkan sekali.

"Te--ter terserah," Raden menundukkan kepalanya karena takut.

Arik tersenyum, seolah menyindir Putra yang kini tengah menatapnya.
_____________

"Aaaaaaaa DIEM!" Raden menghempaskan kedua tangannya yang di tarik ke kanan dan ke kiri. Stres lama-lama Raden bersama mereka berdua, baru bangun tidur sudah memperebutkan siapa yang membantu Raden mandi, menyuapi Raden dan bahkan berdebat permasalahan sekolah dan tidaknya. Meskipun ujung-ujungnya Raden lah yang menang dan bersekolah.

Tapi ternyata perdebatan mereka tidak sampai di situ, mau berangkat pun Putra yang memaksa Raden untuk ke sekolah menggunakan kursi roda yang telah dia beli, dan Arik yang memaksa Raden untuk memakai tongkat, dengan alasan 'tidak keren' sedeng memang mereka berdua.

"Makin sakit kaki gue kalo kalian kaya gini terus!" Ucap Raden sembari mengambil tongkat untuk membantunya berjalan, lagian ada benarnya juga si Arik ini.

Raden berjalan keluar rumah dan di kejar oleh ke dua Saiton di belakang nya.

"Masuk mobil gue," ucap Arik.

"Gak, lebih baik gue naik taksi dari pada bareng sama kalian berdua!" Ucap Raden.

"Gue kan beda sekolah, jadi Lo bareng dia aja," ucap Putra.

Akhirnya Raden sedikit bernafas lega. Raden masuk ke dalam mobil Arik dan duduk manis, setelah itu Arik masuk dan menjalankan mobilnya menuju sekolah, dengan kecepatan sedang dan menempuh waktu yang agak lama akhirnya mereka sampai juga di sekolah.

Mereka berdua keluar dari mobil secara bersamaan, siswa siswi yang melihat momen itu langsung terkejut karena orang yang telah lama tidak sekolah kini kembali bersekolah dengan kaki yang pincang dan menggunakan tongkat, jangan lupakan wajahnya yang babak belur.

Dari parkiran hingga ke depan kelas Arik terus mengikuti Raden. Sebenarnya risih tapi mau bagaimana lagi karena Raden capek terus berdebat dengan Arik.

Hingga Raden duduk pun Arik terus mengikutinya, meskipun banyak yang lihat dan Raden sangat risih sekali dengan tatapan mereka semua.

"Si Temi kemana?" Dumel Raden sembari melihat ke sekeliling kelasnya.

"Dia di keluarin dari sekolah ini dengan gak hormat itu gara-gara Lo!" Ucap siswa yang duduk di depan bangku Raden.

"Mau nyusul mereka?" Ucap Arik dengan nada yang dingin sekali.

"Gak, makasih."

"Raden," Raden yang di panggil pun melirik orang yang memanggilnya.

"Ke ruangan kepala sekolah sekarang," ucap pak Ikmal. Sedangkan Raden hanya mengangguk saja dan berjalan di belakang pak Ikmal.

"Sampai kakimu sembuh jangan berbuat ulah," ucap pak Ikmal.

"Kenapa?"

"Ya karena saya susah harus ngasih hukuman kamu apa, masa saya suruh kamu lari di lapangan? Berenang? Entar yang ada kamu tenggelam lagi, kalo pun saya harus ngasih hukuman nulis satu buku  penuh pun percuma, karena saya gak ngerti tulisan dokter," ucap pak Ikmal.

"Ya elah pak gitu amat sih."

"Cepat masuk, dan kamu Arik tunggu di luar saja," ucap pak Ikmal.

"Gak," ucap Arik.

"Terserah, terserah kalian saja, bapak capek ngurusin kelakukan kalian," ucap pak Ikmal sembari mengacak rambutnya.










____________________________________

RADEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang