58

1.4K 65 2
                                    


Brak

"Maaf dok saya mengganggu waktu anda, tapi dokter Seiji meminta bantuan anda untuk menangani pasien luka parah," ucap suster.

"Di mana?" Affan langsung berdiri dan berlari keluar.

"UGD dok."

Affan dan satu suster itupun berlari sekencang mungkin, nyawa pasien itu nomor satu jadi jangan sampai Affan kehilangan pasiennya.

Setelah sampai di lorong rumah sakit, dokter Affan sedikit terkejut karena lorong ini di penuhi oleh pemuda yang memakai jaket yang sama.

"Dok, selamatkan adek saya, saya mohon dok," Arik, dia meluruhkan tubuhnya di depan Affan memohon sembari menangis, putra sebagai sepupu Arik pun mencoba untuk menenangkan Arik yang menangis sendiri tadi, sedangkan anggota lainnya hanya diam menunduk, mereka baru pertama kali melihat bos mereka yang dingin dan kejam itu menangis karena seorang pemuda yang pernah menggantikan posisi Arik di area balapan waktu itu.

"Pasti," ucap Affan.

Ketika pintu ruangan itu terbuka dan kaki Affan baru melangkah satu langkah seketika terhenti, dia terdiam di tempat tubuhnya seolah menegang tidak bisa di gerakan, jantungnya berdetak dua lebih kencang.

"Apa ini? Kenapa bisa?"

"Dok tolong selamatkan adek saya dok!" Teriak Arik.

"DOKTER SAYA MOHON SELAMATKAN ADEK SAYA DOKTER! SELAMATKAN RADEN!"

Affan hanya terdiam, suhu ruangan ini seolah naik secara tiba-tiba membuat tubuh Affan berkeringat.

"SELAMATKAN RADEN!! TOLONGIN RADEN! JANGAN BIARKAN DIA PERGI! GUE MOHON!"

Lamunan Affan seketika buyar karena teriakan Arik, dia mencoba untuk menghapus rasa gugupnya itu. Ternyata foto-foto yang dia terima selama ini benar, selama itu juga ternyata Raden di culik, dan di siksa, tapi kenapa dia tidak peduli, kenapa Affan hanya menganggap itu hanya bohongan, orang yang ada di foto itu Affan anggap orang lain.

Affan mempunyai banyak sekali bodyguard yang bekerja bersamanya, Affan sudah memerintahkan semua bodyguard untuk melindungi istri, Cilvin dan Tara di manapun mereka berada, Affan menegaskan kepada mereka supaya tidak ada yang berani melukai Keluarganya termasuk musuh bisnisnya.

Tapi Affan lupa, Affan lupa jika dia masih mempunyai anak lainnya di luaran sana, Affan lupa tidak memerintahkan mereka untuk menjaga Raden juga meskipun dari kejauhan, Affan membiarkan Raden berkeliaran di luaran sana dengan pastinya di kelilingi oleh musuh bisnisnya yang mengincar Raden. Dia lalai.

Affan merasakan hatinya seperti di remas dan hancur melihat anak yang dulu pernah dia siksa, caci maki, dan dia usir itu berada di hadapannya dengan kondisi yang mengenaskan. Affan sangat menyesali perbuatannya selama ini, dia rela di hukum apapun asalkan jangan pernah melihat ini Affan hanya berharap ini hanyalah mimpi. Namun percuma Affan sudah di tampar dengan kenyataan.

Dengan bodohnya Affan pernah berfikir jika dulu Raden itu anak yang kuat, karena setiap hari dia di pukuli oleh tangan Affan sendiri Raden itu tidak pernah meringis, mengeluh sakit ataupun menangis, Raden selalu diam ketika Affan bertindak. Ternyata di balik diamnya Raden itu menyimpan beribu-ribu luka yang mendalam yang dengan pintarnya dia sembunyikan dari siapapun.

Dia berjalan perlahan mendekati tubuh Raden bersama Seiji yang tengah mengobati luka-luka Raden.

"Jangan tutup mata kamu, kamu harus tahan okey, kamu kuat" ucap Seiji panik.

Raden melihat dari ujung mata yang hampir tertutup itu ada yang mendekatinya, Raden tidak tau itu siapa karena terlihat sangat tidak jelas, tapi ketika dia mendekat Raden bisa melihat dia.

Raden tersenyum melihat orang itu, meskipun Raden sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakit di tubuhnya tapi lihatlah dia bisa tersenyum dengan lebar ketika melihat Ayahnya ada di hadapannya Sekarang, air mata Raden menetes dengan sendirinya.

"Ah---ahyahhh..." Lirih Raden dari dalam masker oksigen yang di pakainya.

Dengan sisa tenaganya Raden mengangkat tangannya yang berlumuran darah itu untuk memegang tangan Affan, tapi sangat di sayangkan sekali, tangan Raden tidak sampai dia hanya bisa menggapai baju putih kebanggan Affan.

"B--b--buhh..nada ---na?" Mata Raden sudah merem melek menahan sakit saat dia mengeluarkan suara.
__________

"Apa?!"

"Gak gak mungkin, gak mungkin!" Qila menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, dia syok berat ketika seseorang memberi kabar jika anaknya masuk rumah sakit.

Bersama sang mertua, Qila langsung menuju ke rumah sakit mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, menyalip semua kendaraan yang menghalangi jalannya, selama si perjalanan pun Qila nampak tidak tenang memikirkan anaknya, dia takut jika terjadi sesuatu.

Qila mengigit kukunya, matanya sudah menangis karena khawatir. Ibu mana yang tidak khawatir ketika anaknya terluka, meskipun kadang terlihat jutek dan suka marah tapi di dalam lubuk hati yang paling dalam dia pasti merasakan khawatir dengan darah dagingnya sendiri.

Sesampainya di rumah sakit, Opa dan Qila berjalan menuju ke ruangan anaknya.

"Tara, Calvin!" Ucap opa dan Qila bersamaan.

"Kenapa kalian bisa seperti ini?" Tanya opa.

"Kami di keroyok sama geng motor opa," adu Cilvin.

"Siapa yang sudah melakukan ini Hem..?"

"Gak tau opa."

"Luka kamu sudah di obati?" Tanya Qila kepada Tara.

"Udah bund, tapi noh si bontot gak mau di obatin katanya mau ayah yang obatin luka nya," ucap Tara.

"Emangnya bukan ayah kalian yang mengobati luka nya?" Tanya Qila penasaran.

"Bukan bunda, padahal tadi Cilvin udah minta sama mereka buat panggilin Ayah secepatnya, tapi kata mereka ayah lagi nanganin pasiennya."

"Ayah gak sayang ya sama Cilvin? Ayah udah gak peduli lagi sama Cilvin," ucap Cilvin.

"Enggak sayang, bukan sepeti it---"

" Di mana ayah kalian?"tanya opa.

"Gak tau, aku mau ngambek sama ayah," ucap Cilvin.

"Qila kamu obati Cilvin, setelah itu bawa mereka pulang, dan ingat jangan ke luar rumah sampai opa yang mengijinkan kalian keluar!" Ucap opa dengan tegas. Mereka hanya bisa mengangguk mereka tidak bisa membantah perkataan opa sedikitpun.

"Bunda obatin luka nya," Cilvin merengek.
__________

RADEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang