Raden mengerjapkan matanya perlahan, menatap plafon yang berwarna putih itu se saat sebelum ada seseorang yang melambaikan tangannya di atas kepala Raden.Dan itu ternyata Seiji yang tengah tersenyum menatap dirinya, mengerikan sekali, dan Raden rasanya ingin berteriak tapi dadanya masih terasa sakit.
"Widih dah siungan Lo," ucap Putra.
"Siuman," ucap Seiji mengoreksi ucapan Putra.
"Anak muda dok."
"Ji," panggil Raden pelan.
"Laper sumpah," ucap Raden, sedikit konyol tapi kasian juga jika Raden seperti ini.
"Gimana?" Tanya Arik yang berada di sebelah Putra.
"Masih lemes, sakit juga," Raden memegang dadanya.
"Usapin, orang ngasih kode kok gak peka!" Putra menarik tangan Arik ke atas dada Raden dan mengusap pelan.
"Sakitnya di dalem."
"Makannya cepet sembuh, gak enak kan sakit kek gini?" Ucap Putra.
"Tuh Lo kasih makan anak Lo, terus kasih obat, gue mau keluar dulu sama dokter Seiji," ucap Putra.
Arik menyudahi tangannya yang mengusap dada Raden, dia mengambil mangkuk yang berisi makanan, menyuapi Raden dengan telaten meskipun Raden sangat lambat membakar buburnya ini tapi dengan sabar Arik menyuapi Raden, hingga Raden meminta menyudahi makannya. Tak lupa Arik juga memberikan minum dan obat untuk Raden yang sudah di sediakan oleh Seiji.
"Bosen di sini terus, sumpek banget, pengen keluar sebentar boleh gak?" Raden menatap Arik dengan penuh permohonan.
"Gak."
"Ayolah, sebentar saja kok."
"Lo baru bangun."
"Tapi gue udah baik-baik aja, kan udah makan."
"Ya udah kalo gak boleh ke luar sebentar, kalo pindah rumah sakit gimana?" Tanya Raden.
"Gue urus," ucap Arik dingin, tangannya yang kini kembali mengusap dada Raden dengan pelan.
"Kalo suatu saat nanti dia berhenti gimana ya?" Ucap Raden lesu, entah kenapa dia jadi kepikiran seperti ini.
"Jantung gue yang bakalan berdetak di tubuh Lo," ucap Arik dengan wajah datar.
"Kalo gitu entar Lo dong yang mati."
"Gak."
"Hah?"
"Gue ambil punya si putra."
"Psikopat Lo!" Ucap Raden yang tidak habis pikir dengan ucapan nyeleneh dari seorang Arik.
_________"Mas?"
"Iya kenapa bund?" Dokter Affan yang tengah duduk di kursi taman belakang sendirian dengan se cangkir kopi itu melihat siapa yang datang.
"Aku udah lama banget gak kembali ke dunia medis, aku pengen banget balik lagi ke dunia medis mas, boleh gak?"
"Entar kamu bakalan lebih sibuk sama pekerjaan kamu, kalo kamu kecapekan gimana, kamu juga harus ngurus anak-anak."
"Anak-anak sudah pada besar mas, mereka juga jarang banget di rumah aku kesepian tau, kamu juga aku mau mengadopsi anak gak boleh."
"Sayang, kamu masih ingat kan silsilah keluarga aku? Kamu kan tau gimana peraturan keluarga aku, salah satunya tidak boleh mempunyai anak tiga, karena angka tiga itu di anggap kesialan lahir batin bagi keluarga aku sayang."
"Kamu juga masih ingat kan kejadian waktu itu?"
Qila menundukkan kepalanya, dia jadi merasa sedih karena suaminya itu mengingatkannya ke masa lalu yang membuat hatinya kembali terluka.
"Udah jangan sedih, kamu juga harus ingat, kesehatan kamu sampai kapan pun sangat penting," ucap dokter Affan.
"Tapi aku pengen jadi dokter jantung lagi mas, aku kangen suasana rumah sakit. Lagian aku juga maunya satu rumah sakit sama kamu gak mau pisah."
"Gak, mas akan larang kamu buat bekerja apalagi satu rumah sakit sama mas, lebih baik kamu diam saja di rumah."
"Kenapa?"
Tanpa menjawab dokter Affan pergi begitu saja, Qila yang masih duduk di kursi itu pun masih mencerna apa yang di ucapkan suaminya barusan, kenapa dia tidak mau satu rumah sakit dengannya, apa Qila masih merepotkan Affan selama ini sehingga Affan malu mempunyai istri seperti Qila.
Qila yang penasaran pun menyusuli Affan ke dalam rumah, Qila melihat Affan masuk ke dalam kamar yang telah lama kosong itu, sepertinya Affan tengah melamun di sana dengan tatapan yang lurus ke depan.
"Mas Affan kenapa ya jadi sering masuk ke kamar ini?"
"AYAH, BUNDA, TARA SAMA CALVIN YANG GANTENG INI PULANG!!"
Qila tersentak ketika mendengar suara teriakan Calvin yang menggelegar itu.
"BUNDA DI SINI SAYANG!" Qila berjalan ke arah Calvin dan Tara.
"Bund, ayah mana kok gak ada?" Tanya Tara.
"Ayah lagi tidur, jangan di ganggu dulu ya, lebih baik sekarang kita makan dulu yuk, bunda tau pasti kalian kelaparan di luaran sana karena jadi gembel beberapa hari di luaran sana," ucap Qila.
"Heheh bunda tau aja sih," ucap Calvin dengan mencolek tangan atas Qila.
_________Clekk
"Astaghfirullah, Allahuakbar, ni anak tidur atau atraksi sih? Tidur sampe segitunya."
Arik yang berada di sana pun menatap Putra dengan penuh permusuhan. Arik tau Putra kaget dengan posisi tidur Raden yang seperti anak kecil ini, mungkin juga kalo kaki Raden tidak di naikan ke atas paha Arik, Raden sudah terjatuh dari tadi.
"Benerin dulu, kasian itu kepala ya Allah udah kaya leher ayam di sembelih aja," putra mengangkat pelan-pelan kepala Raden, dan Arik mengangkat kaki Raden. Mereka membenarkan posisi Raden ke tempat semula.
"Kata dokter Seiji dia udah gak papa, paling besok juga udah minta pulang," ucap Putra dan di angguki oleh Arik.
KAMU SEDANG MEMBACA
RADEN
Teen Fiction❌NOT BxB❌ ❌NOT BL❌ Mereka itu HEBAT sekali, mereka bisa menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa orang lain. Tapi mereka belum tentu bisa menyelamatkan ku. Gak bisa bikin Deskripsi ges yok baja aja |Jangan lupa VOTE dan KOMEN ya kawan|