63

2.4K 87 0
                                    


Awan yang gelap, hujan gerimis membasahi bumi melumpuhkan semua aktifitas manusia yang bekerja di luar ruangan. Sepertinya langit pun ikut menangis seolah merasakan rasa sakit yang Raden alami.

Malam ini, mereka semua terjaga hingga pagi, mereka tidak bisa tertidur karena kondisi Raden yang terus naik turun sehingga butuh pengawasan khusus hingga kondisinya membaik.

Tidak ada yang mereka bicarakan lagi, Arik, Keyala, Ilham dan juga putra sudah terlanjur membenci keluarga Raden yang sangat kejam itu, mereka bahkan tak segan-segan menatap keluarga Raden dengan tatapan kebencian, mereka sudah tidak bisa lagi menutup-nutupi semuanya bahkan untuk menjaga sikap saja mereka sudah tidak bisa.

Sedangkan Qila, Tara dan juga Cilvin mereka tengah dihantui dengan rasa bersalah, menunduk sembari menangis, dan diam tidak mengeluarkan sepatah katapun, itu yang mereka lakukan semalaman.

Affan, dia berusaha tegar ketika menangani Raden di dalam sana bersama Seiji, mata yang membengkak, dan juga penampilannya yang acak-acakan memperlihatkan bagaimana hancurnya Affan. Dia merasa kecewa dengan dirinya sendiri karena Affan sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi dokter spesialis jantung dia sudah menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa dengan Ilmu yang dia pelajari sedari kecil. tapi bodohnya Affan bahkan tidak mengetahui jika anak bungsu nya juga mengidap penyakit jantung dan bukan Affan lah yang menangani Raden.

Affan juga menyesal karena telah mengusir Raden dari rumah waktu itu, seandainya Affan tidak mengusir Raden dan percaya dengan mitos yang sudah melekat di keluarganya itu mungkin Raden saat ini sudah sembuh, dia akan melakukan aktivitas seperti remaja lainnya bukan seperti ini, mungkin juga Raden tidak akan pernah merasakan hidup sendirian, mengalami kesusahan uang, dan juga pendidikan.

Affan sungguh menyesal, dia menggenggam tangan Raden, menciumnya  dan mengelus tangan Raden yang terlihat sangat kecil itu.

Ke dua ujung bibirnya tertarik ke atas ketika  sorot matanya menatap mata indah itu sudah terbuka, meskipun terlihat sangat sayu.

"Ayahhh," ujar Raden dengan nada yang sangat rendah sekali.

"Kenapa Hem? Dadanya masih sakit?" Affan mengelus dada Raden yang tidak terbalut oleh sehelai kain pun. Dan anggukan kepala lah yang Raden berikan untuk Affan.

"Maafin ayah ya nak, maaf," Affan kembali mencium tangan Raden.

"Bun---dahh."

"Kenapa Hem? Kamu mau bunda? Sebentar ya ayah panggilkan dulu," ucap Affan dengan lembut. Ada rasa bahagia di dalam hati Raden ketika Affan berbicara lembut kepadanya, baru pertama kali ini Raden mendengar Affan berbicara lembut seperti ini kepadanya, nada bicaranya pun sangat pelan tidak seperti dulu yang sering membentak Raden.

Ketika Affan akan melangkah tiba-tiba saja Raden kembali menggenggam tangan Affan. Affan yang mengerti pun menyuruh salah satu suster untuk memanggilkan istrinya.

"Yah.. ma--maaf kalo Raden, nyushhhahin Ay--ah terus," ucap Raden.

"Tidak, tidak sama sekali, kamu anak ayah dan seharusnya juga kamu merepotkan ayah, ayah sungguh tidak keberatan."

"Taphi ke---kenapa dulu ayah s-selalu bentak Raden?"

Qila tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Raden, dia berjalan gontai ke arah Raden dengan tangan yang menutup mulutnya, dia sudah tidak sanggup lagi melihat kondisi Raden saat ini.

"B- Bun dah--"

"Iya sayang ini bunda nak, bertahan ya bunda mohon," Qila menangis sembari menggenggam tangan Raden yang sudah terbalut dengan kain kasa itu.

Saat ini Raden masih belum bisa di pindahkan ke ruang rawat karena kondisinya yang masih kritis. Tusukan di perutnya itu mengenai organ vital di tambah dengan jantung Raden yang sudah mulai kronis.

RADEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang