sebuah peringatan

1.6K 56 4
                                    

Suasana malam itu hangat, angin sepoi menerbangkan setiap helai rambut Vivy, wajah Vivy terlihat bersinar dengan cahaya lilin yang Rialdi sebar disekitar.
"Vy, kamu gak ada niatan buat pulang?" akhirnya setelah menimbang-nimbang Rialdi memberanikan diri bertanya hal yang bisa membuat mood kekasihnya turun.

Raut wajah Vivy sudah berubah, ia tak ingin membahas hal itu sekarang. Vivy menatap mata Rialdi yang sayangnya sudah mengintimidasinya sejak pertanyaan itu ia lontarkan. Dengan acuh tak acuh Vivy menjawab tanya Rialdi.
"Buat apa aku harus pulang sementara rumah itu tak pernah merindukan ku?" Rialdi menatap mata biru itu, ia tahu masih ada luka yang belum bisa Vivy maafkan sampai ia melontarkan kalimat itu.

Entah sejak kapan hal itu terjadi yang Vivy ingat hal itu sudah berlangsung saat dirinya masih kecil. Sejak kecil Vivy selalu berbeda di mata orang tuanya, dia selalu dianggap tidak ada saat semua keluarganya kumpul. Baik mama maupun ayah, mereka selalu membanggakan Fani, kakak perempuan Vivy, ia tahu jika dirinya tak punya bakat seperti Fani tapi, hei ayolah dia juga anak mereka, Vivy ingin dibelikan mainan, Vivy ingin ditanya mau apa saat mereka makan diluar dan Vivy ingin diajak saat mereka berlibur tapi kenyataannya dia diabaikan, tak ada yang peduli padanya, sampai dia sendirian dirumah itu, rumah yang dingin tanpa ada satupun keluarganya yang peduli padanya. Ia tak tahu apa kesalahan yang pernah ia buat sampai keluarganya bersikap seperti itu.

Malam itu Vivy sendirian di rumah, ia tak tahu keluarganya pergi kemana yang ia tahu jika mereka sudah pergi sejak pagi, meninggalkan Vivy yang masih tertidur lelap. Malam itu terlalu sunyi untuk Vivy, ia tak tahu kenapa rumah sepi seperti ini padahal ada tiga asisten rumah tangga yang tinggal dirumahnya, bahkan mereka tak membuatkan dirinya sarapan sampai malam pun Vivy masih tak tahu keberadaan ketiga orang itu.

Sampai musibah itu terjadi dimana dia sedang membuat makan malam datang supir keluarganya dan tanpa basa-basi supir itu langsung menerkam Vivy, Vivy berteriak, meronta bahkan melawan, namun tindakannya itu tak menghentikan kegiatan pria bejat itu. Ia memakan tubuh gadis yang masih sangat muda itu, menikmati setiap inci tubuh Vivy tanpa peduli rintihan kesakitan yang Vivy keluarkan.

Satu jam berlalu akhirnya pria itu melepaskan sang gadis, ia pergi begitu saja meninggalkan Vjvy yang meringkuk dilantai dapur, menangisi kesuciannya yang telah diambil secara paksa oleh supir pribadi keluarganya.

Vivy meraung, menangisi dirinya sendiri yang sangat menyedihkan itu, ia tak tahu harus berbuat apa setelah ini, sampai matanya tak sengaja melihat ponsel yang tergeletak tak jauh dari hadapannya, dengan tangan yang bergetar ia membjka kunci ponselnya dan mencari kontak Serena.

Tak lama telpon di angkat membuat Vivy sedikit lega, setidaknya masih ada orang yang peduli padanya.
"Vy? Tumben nelpon jam segini?" gadis berusia lima belas tahun itu langsung bertanya, tak seperti biasanya Vivy menelponnya dimalam hari.
"Ren...gue hancur, Ren..." hanya itu kalimat yang bisa Vivy ucapkan, setelahnya ia menangis hebat di telpon. Serena yang berniat ingin kembali kekamarnya setelah makan malam itu langsung panik dan bertnya apa yang menimpa sahabatnya ini.
"Vi?! Lo kenapa? Kenapa nangis? Lo sekarang dimana?" berbagai pertanyaan keluar dari mulut Serena, ia takut terjadi sesuatu pada Vivy. "Lo dirumah kan? Tunggu, gue kesana sekarang!" Serena tak mematikan telponnya, ia biarkan telpon itu tetap menyala saat dirinya meminta Rialdi untuk mengantarnya.

Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di rumah Vivy. Rumah itu sepi, bahkan tak ada satpam yang berjaga membiat Rialdi mau tak mau harus turun dari mobil dan membuka pagar sendiri.

Setelah keluar dari mobil Serena langsung lari ke arah pintu, ia tak mempedulikan apapun lalgi, yang ada di pikirannya sekarang adalah Vivy.

Serena naik ke lantai dua, dia membuka pintu kamar Vivy namun tak ada siapa pun di ruangan itu membuat Serena kembali berlari ke ruang keluarga.
"Vy? Vivy?" dia berteriak memanggil nama sahabatnya itu namun tak ada sahutan satupun membuat Serena semakin khawatir.
"Vivy! Lo dimana?!" suara Serena terdengar di seluruh ruangan membuat rumah itu sedikit berisik.
"Ren, dia disini!" teriak Rialdi di pintu dapur membuat Serena dengan cepat berlari kearah dapur.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang