Hukuman

359 13 4
                                    

Introgasi berjalan begitu mudah, Olivia menceritakan apa yang ia alami dengan sangat detail membuat polisi merasa puas dengan kesaksiannya.

"Kalo aja kalian gak datang waktu itu, mungkin sekarang bajingan itu udah gak bernyawa," desis Olivia dihadapan polisi.

"Anda tak punya hak untuk membunuhnya, jika itu terjadi makan anda yang akan masuk penjara," jawab penyidik, tangannya tak lepas dari pulpen, menulis apapun yang Olivia ucapkan.

"Lebih baik gue dipenjara seumur hidup daripada kudu liat bajingan itu bebas dari hukum."

"Gue tau dia bukan dari keluarga sembarangan, jadi gue yakin keluarganya bakal ngelakuin apapun supaya dia gak mencoreng nama baik mereka." Satu sudut bibir Olivia terangkat, menyadari jika Ravin mempunyai kekuasaan untuk lepas dari hukum.

Mendengar penuturan Olivia membuat Yusuf mengelus dadanya berkali-kali, berusaha menenangkan gejolak hati yang ingin mendisiplinkan anaknya. Ia tahu Olivia bukanlah gadis baik yang selalu menjaga sopan santun didepan orang yang lebih tua, ia benar-benar tak bisa menoleransi sikap anaknya itu, namun disisi lain ia juga merasa gagal menjadi Ayah yang tak bisa membentuk jati diri anaknya, ia merasa gagal saat melihat Olivia yang bersikap tak beradab dihadapan orang yang bermartabat seperti ini.

Sementara Mitfah hanya mendengarkan apa yang disampaikan Olivia, ia benar-benar tak menyangka jika anaknya akan terlibat dengan kasus penculikan, bahkan pembunuhan seperti ini, berbagai pikiran buruk berkecambuk dikepalanya. Apalagi ketika mendengar Olivia yang akan ditembak, bagaimana jika kejadian itu terjadi? Apa saat ini anaknya masih bisa bernafas? Ataukah ia akan menggantikan Vivy yang kini terbaring tak bernyawa di ruang jenazah?

"Baik, cukup sampai disini pembicaraan kita. Terima kasih saudari Olivia, anda sudah banyak membantu kami. Kami pastikan jika anda akan mendapat perlindungan hukum dari kasus ini," penyidik mengulurkan tangan pada gadis yang ada di hadapannya, namun rupanya Olivia tak berniat menjabat tangan besar itu membuat sang tuan tersenyum kecut karena tingkah gadis yang menurutnya sangat tak sopan.

"Terima kasih Saudara Yusuf, dan saudari Mitfah, berkat adanya kalian saudari Olivia jadi mau berterus terang pada kami."

Tangan berjabat dua detik, setelahnya ketiga polisi itu keluar dari ruangan meninggalkan satu keluarga yang masih bungkam.

Tangan Olivia kini terlepas dari borgol, netranya terus memperhatikan luka yang menghiasi telapak tangan, senyum hampa terbit kala memorinya memutar kejadian beberapa saat yang lalu. Jika boleh jujur sebenarnya Olivia merasa takut ketika masuk ke basement yang gelap itu, terlebih ornamen di ruangan pengap itu benar-benar membuat dirinya merasa ngeri, membayangkan ada orang yang Ravin bunuh dan organ tubuhnya di pajang pada ruangan pengap itu benar-benar membuat Olivia merasa ingin muntah.

'Lo hebat, Liv. Lo bisa ngendaliin rasa takut lo dan melawan bajingan itu dengan sekuat tenaga. Gue bangga sama lo." suara lembut terdengar dari dalam diri Olivia, ia tahu mungkin berlebihan jika mengganggap dirinya telah menyelamatkan Serena namun bolehkah ia merasa bangga pada tindakannya?

~~☆♤☆~~

"Saya benar-benar merasa malu dengan tingkah bodohnya, dia sudah benar-benar merusak nama keluarga!" ucap pria berbadan tegap, alisnya menukik kala mendengar penjelasan dari polisi yang telah melakukan penyelidikan di tempat kejadian.

Alois tak bisa berkata sedikitpun, alam bawah sadarnya tak henti membayangkan bagaimana tersiksanya Serena berada di tempat terkutuk itu. Ia merasa gagal menjaga putri bungsunya, ia benar-benar menyesali keputusannya yang membiarkan Serena tinggal jauh dari rumah.

"Pak, saya minta maaf yang sebesar-besarnya pada anda, saya benar-benar merasa malu dengan sikap bodohnya anak itu," hancur sudah reputasinya sebagai seorang ceo dari perusahaan terbesar yang ada di Indonesia ini dihadapan Alois yang merupakan salah satu rekan bisnisnya. Ia benar-benar sudah tak punya wajah lagi didepan Alois.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang