Cemas

247 12 2
                                    

Jari lentik itu menari di atas layar ponsel, sudah banyak pesan yang Serena kirimkan untuk Vivy, panggilan pun sudah tak terhitung jumlahnya. Vivy tak masuk sekolah membuat Serena heran karena sahabatnya itu tak akan absen tanpa alasan.

Bang, gmna? Si Vivy jawab, gak?"

Tak ada balasan dari Rialdi membuat gadis itu menghela nafas gusar, kenapa kakaknya itu tak bisa diandalkan di saat genting begini?

Bang!
Jawab gue, gue gak mau khawatir sendirian!

Perasaan Serena semakin tak enak, ini sudah sore sudah banyak panggilan yang ia lakukan baik melalui internet ataupun panggilan biasa, namun tetap Vivy tak menjawab satupun.

Tadi gue ke kost dia, tapi gk ada siapapun.
Bahkan pintunya di kunci dari luar.

Masih tak ada balasan dari Rialdi membuat Serena menggigit jari tak sabar.

Nanti malem kita pergi ke rumah dia.
Gue gak mau dia pulang ke rumah terkutuk itu.

Matahari menyinari dapur Serena yang sunyi, terlihat gadis itu menyeduh coklat panas untuk menenangkan pikirannya. Otak Serena terus berkata jika ada hal yang tak beres pada sahabatnya, karena selama ia mengenal Vivy tak pernah sekalipun perempuan itu hilang kabar secara tiba-tiba seperti ini.

Pintu terdengar di dobrak dari luar membuat Serena terhenyak, suara langkah kaki terdengar begitu cepat seolah tak membiarkan Serena mengatur detak jantungnya.

"Ren, kita cari sekarang, perasaan gue gak enak!" Rialdi terlihat sangat berantakan, dengan nafas tersengal laki-laki itu menarik tangan Serena dan membawanya pergi dari apartemen.

Serena menurut, ia tak protes ketika coklat panasnya tumpah di lantai karena Rialdi menariknya secara tiba-tiba, gadis itu mengikuti langkah sang kakak yang berjalan cukup cepat.

Serena melirik ponsel Rialdi yang tergeletak di Dashboard mobil, dengan cepat tangan itu meraih ponsel yang terus menyala menandakan ada telpon masuk. Panggilan dari Alois memenuhi layar itu membuat Serena melirik sang kakak sebelum menjawabnya.

"Halo, pa? Kenapa?"

"Seren? Bang Anan mana?" suara Alois terdengar marah dengan nafas yang menderu.

"Lagi nyetir, pa. Ada apa?"

Helaan nafas terdengar dari sebrang membuat Serena mengerutkan kening tak mengerti.

"Serena, bilangin ke abang kamu jangan melepas tanggung jawab begitu saja, papa kecewa sama dia!"

Serena melirik Rialdi dengan ekor matanya dan baru menyadari jika sang kakak masih menggunakan kemeja kerja, "Bang, lo kabur?"

Rialdi mengaggukan kepalanya membuat Serena menghembuskan nafas frustasi.

"Kenapa harus kabur, sih?"

"Ren, lo pikir otak gue bakal bekerja dengan baik di saat gue gak tau keberadaan si Vivy?" suara Rialdi terdengar di tekan seolah tak ingin berteriak pada Serena.

Rialdi melajukan mobil dengan kecepatan penuh, otaknya di hampiri oleh berbagai pikiran buruk, kenapa di saat seperti ini otak dan hatinya berkata hal yang sama? Tuhan.. tolong lindungi Vivy, ia tak ingin musibah menghampiri perempuannya lagi.

Mobil berhenti di depan pagar tinggi yang berdiri kokoh melindungi rumah sang tuan, beberapa kali Rialdi menekan klakson, meminta agar orang dalam membukakan pagar itu, namun sayang sekuat apapun ia menekan klakson tak membuat satu orangpun mau membukakan pagar untuknya.

Dengan emosi yang menggebu-gebu, Rialdi turun dari mobilnya dan menekan bel dengan keras, "kalian kerja ngapain aja sih?! Buka pintunya, anjing!"

Rialdi memukul pagar beberapa kali untuk mendapat perhatian dari satpam yang menjaga, "sabar, mas!" terlihat seorang laki-laki yang berlari kecil untuk membukakan pagar.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang