Kebenaran

275 14 4
                                    

Serena duduk di sofa dengan segelas coklat panas di tangannya, jarinya terus berputar di atas gelas menggambarkan jika ia merasa tak tenang.

"Ada hal yang ingin aku sampaikan sama kamu," suara Ravin memecah keheningan yang terjadi.

"Mungkin setelah ini kamu akan marah bahkan berbalik benci sama aku, tapi aku gak bisa menyembunyikan hal ini terlalu lama."

Serena diam, ia hanya mendengarkan perkataan Ravin tanpa berniat menanggapi. Dengan pelan tangannya membawa gelas yang ia pegang ke depan mulut.

"Aku.. nyulik si Vivy," satu kalimat berhasil membuat Serena tersedak coklat yang baru saja ia minum, sontak netranya menatap Ravin yang masih menatapnya.

"Aku bahkan sudah menuangkan sesuatu di coklat yang kamu minum ini," kini seringai terlihat di wajah tampan Ravin membuat sinyal bahaya seketika menyala pada diri Serena.

Entah apa yang Ravin campurkan pada coklat panas itu, kini efeknya mulai terasa oleh Serena. Ototnya seketika melemas dan penglihatapun secara perlahan memudar, membuat gelas yang ia pegang terjatuh ke lantai.

Ravin mendekati Serena yang kesadarannya mulai meluap, "selamat tidur, tuan putri." seulas senyum terlihat sekilas sebelum perempuan itu menutup matanya karena rasa kantuk yang teramat sangat.

~~☆♧☆~~

"Serena! Bangun! Kamu gak seharusnya tidur di saat yang paling bahaya seperti ini! Cepat bangun dan larilah sekuat yang kamu bisa!" Teriakan seorang wanita terdengar oleh Serena membuatnya melawan rasa kantuk yang terus menghantuinya.

Netra itu terbuka sedikit dan menangkap sosok Ravin yang memangku dirinya. Ingin sekali Serena melawan, namun lagi-lagi ototnya tak bisa ia gerakan sesuka hati membuatnya kembali tertidur di pangkuan laki-laki itu.

"Seren! Lo ngapain disini? Pergi! Gue gak mau lo jadi korban si brengsek itu!" satu teriakan lagi terdengar oleh telinga Serena, namun suara itu bukanlah suara Mahira, melainkan suara Vivy.

Perlahan Serena membuka mata dan melihat Vivy di sampingnya yang terus menepuk kedua pipinya. Helaan nafas terdengar dari sahabatnya itu sebelum usapan di pipi Serena rasakan.

"Syukurlah lo masih hidup,"

"Vy, lo dari mana aja? Dari kemarin gue cariin~" kalimat itu menggantung ketika netra Serena melihat kondisi Vivy yang begitu mengkhawatirkan.

"Vy.. lo kenapa?" alih-alih merasakan rasa pusing yang masih menderanya, Serena lebih mengkhawatirkan kondisi Vivy yang sudah babak belur.

"Vy, lo bilang ke gue, siapa yang udah berani bikin lo babak belur kaya gini?!" sorot mata itu kini berubah nyalang, Serena benar-benar tak akan mengampuni siapapun yang sudah membuat Vivy terluka.

"Aku. Aku yang bikin si Vivy bonyok kaya gitu," suara Ravin terdengar begitu menusuk di telinga.

Dengan cepat kepala Serena menoleh untuk melihat kekasihnya yang terduduk santai di belakang mereka. Meski kepalanya masih merasa pusing, namun tak menyurutkan niat Serena untuk menghampiri Ravin yang menatapnya penuh minat.

Kaki Serena berjalan cepat untuk menuntut penjelasan dari Ravin, namun belum sampai langkah itu di depan sang kekasih, dirinya harus terhenti karena rantai yang mengikatnya sudah tertarik habis.

Dengan tak percaya netra itu menatap rantai yang menahannya dan beralih menatap Ravin yang tersenyum kecil padanya. Tidak, Ravin tak mungkin melakukan ini.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang