Jangan ada korban lagi!

244 15 3
                                    

Ravin membuka pintu basement dengan kencang, ia tak tahu jika dibalik pintu ada Serena yang tengah membuka paksa lubang kunci menggunakan kawat. Alhasil perempuan itu terdorong dan tersungkur di depannya.

Seringai terlihat dari wajah lebam Ravin, langkah kakinya membawa ia ke depan sang kekasih.

"Mau ke mana, Babe?" tanya Ravin, tangannya menjambak rambut kusut Serena.

Serena berusaha melepaskan tarikan pada rambutnya, netra itu menatap nyalang pada Laki-laki yang ada di depannya. Demi apapun Serena benar-benar muak melihat Ravin yang bertingkah seenaknya. Jika saja tenaganya masih tersimpan banyak, mungkin saja ia sudah melawan orang yang ada di depannya.

Tarikan di rambut semakin menguat kala Serena berontak, rupanya laki-laki itu tak akan membiarkan sang kekasih bertindak seenaknya lagi.

"Lepasin, anjing!" teriak Serena ketika seluruh rambutnya terasa akan lepas dari kulit kepala.

"Sekarang udah berani, ya.. ngomong kasar sama aku?!"

Ravin menghempaskan kepala Serena dengan kasar lantas membersihkan telapak tangannya dari helaian rambut yang tercabut.

Serena terhuyung, kepalanya terasa akan terlepas dari tubuh. Ia terdiam sejenak, meyakinkan hatinya jika yang berlaku kasar itu merupakan kekasih yang sangat ia cintai.

Hati Serena terasa sakit, sungguh. Namun alam bawah sadarnya berkata hal yang berkebalikan, tak ada waktu untuk melankonis, tak ada waktu untuk merasa sakit. Ia harus kabur dari cengkraman Ravin.

Serena berdiri dengan mata yang tak pernah berpaling dari Ravin, rasa benci yang terpupuk selama satu minggu itu mendampingi dirinya untuk berdiri tegak di hadapan sang kekasih.

"Udah berani, ya sekarang?"

Serena bungkam, ia tak menanggapi ucapan Ravin sedikitpun. Ia tahu berdebat dengan orang yang ada di depannya hanya membuang waktu saja.

Tangan Serena mengepal, mengumpulkan kekuatan yang tersisa untuk meninju laki-laki itu. Meskipun ia tahu efeknya tak akan besar, setidaknya ia akan merasa puas jika berhasil meninju rahang Ravin.

Namun takdir berkata lain, saat tangan Serena melayang untuk mendaratkan pukulan, Ravin sudah menghindar dan berjalan santai mendekati Vivy yang tak berdaya, bersandar di tiang yang mengikatnya.

"Serena, aku harap kamu gak ceroboh. Karena konsekuensi yang kamu perbuat akan menghancurkan hidupnya,"

Ravin memegang dagu Vivy, netranya menatap mata berwarna coklat terang itu dalam sebelum bibirnya menjarah bibir pucat Vivy.

Serena terbelalak melihat pemandangan didepannya. Tidak, ini tak boleh terjadi. Ia tak ingin Vivy mengingat kembali traumanya.

Serena berlari untuk menjauhkan Ravin dari Vivy, ia benar-benar tak akan mengampuni laki-laki itu jika sahabatnya kambuh!

Tanpa ragu Serena menampar pipi Ravin yang sudah lebam, netranya menatap nyalang pada sang kekasih. Ia tak akan membiarkan laki-laki brengsek itu menyentuh Vivy seenaknya.

"Jangan kurang ajar! Kalo lo mau bikin gue jera bukan kaya gini caranya!"

"Justru ini cara paling efektif supaya kamu nurut sama aku!"

"Lo gila! Gue gak akan ngebiarin lo nyentuh sahabat gue!"

Seringai tersunging diwajah Ravin, laki-laki itu menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Sesayang itu ya, kamu sama dia?" Ravin mendekatkan wajahnya pada Serena, "sampai kamu seberani ini buat ngelindungi dia,"

Vivy diam, ia tak punya tenaga sedikitpun untuk membela Serena, luka tembak yang Ravin berikan berefek besar pada daya tahan tubuhnya. Ia tak bisa berbuat apapun selain memperhatikan apa yang terjadi di depan matanya.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang