Evakuasi berjalan dengan penuh tangis serta raungan dari Rialdi, entah sesakit apa yang dirasakan oleh laki-laki itu sampai Aloispun memilih tak menyaksikan proses yang berlangsung.
Tubuh Vivy terlepas dari pelukan Rialdi membuat raungan itu semakin memekakan telinga siapa saja yang mendengar. Tak ada yang bisa meredakan tangis itu. Rialdi bahkan tak menyadari jika dirinya sudah kehilangan banyak darah.
Korban maupun pelaku di masukan ke dalam ambulans karena luka yang mereka alami tak main-main. Namun tangan Olivia, Rialdi serta Ravin diborgol. Polisi tak ingin ada keributan di jalan raya karena mereka berontak.
Brankar turun dari enam ambulans yang datang secara beruntun, para petugas medis sudah menunggu mereka untuk langsung ditangani. Setiap brankar di dorong setidaknya oleh empat orang petugas membuat para pengunjung rumah sakit memberikan jalan pada mereka yang hampir berlari untuk menyelamatkan nyawa para korban.
Tubuh Zaki sudah kaku membuat para ahli mendorong tubuh dingin itu ke kamar jenazah untuk disimpan dahulu sebelum mendapat persetujuan akan dilakukannya Autopsi. Sementara tubuh Vivy masih terasa hangat meskipun otaknya telah mati satu jam yang lalu.
Serena, Olivia, Ravin dan Rialdi masih ditangani oleh para dokter, tiga orang mengalami luka tembak serta luka pukul yang serius, sementara satu orang mengalami trauma yang cukup dalam karena insiden yang terjadi.
Netra berwarna coklat itu mengerjap, berusaha menerima cahaya terang yang masuk begitu saja pada penglihatannya. Di mana ini? Kenapa semua yang dilihatnya seakan berputar?
Rasa sakit pada pangkal lengan kembali membuat Olivia tersadar, manik coklat itu melirik pada perban yang membalut bekas tembakan.
Dengan sekali sentak tubuh Olivia duduk di pinggir brankar, gadis itu menatap satu perawat yang tersenyum karena ia sudah sadar.
"Si Seren mana?" bisiknya.
"Teman-teman anda sedang di obati, sebentar lagi kalian akan keluar dari ruangan ini dan menjalani perawatan di ruang inap," jawab perawat itu, berusaha memberi penjelasan dengan bahasa yang lembut pada Olivia.
"Sekarang anda tidur lagi, ya? Anda sudah kehilangan cukup banyak darah."
Olivia melirik pada kantong darah yang tergantung di sampingnya lantas tersenyum kecil sebelum netra itu mengatakan jika ia akan melakukan keributan di unit gawat darurat itu.
Tangan kanannya menarik paksa jarum yang tertancap di tangan kiri gadis itu membuat darah seketika keluar dari sana. Olivia menendang perawat yang menjaganya membuat tubuh laki-laki itu tersungkur pada brankar.
Langkah kaki Olivia membawanya menelusuri ruangan berbau obat itu, setiap gorden ia sibak untuk mencari keberadaan Serena. "Seren! Lo di mana, anjing!"
Beberapa petugas berusaha menghentikan langkah Olivia, namun tubuh gadis itu cukup lihai untuk lolos dari sergapan para petugas.
Serena keluar dari gorden yang belum Olivia sibak, ia berlari pincang menghampiri gadis yang membuat keonaran itu dan keluar dari ruangan.
Olivia menutup pintu ruangan dan menahannya dengan tongkat pel untuk menghalangi petugas agar tak mengejarnya.
Tangan berdarah itu merengkuh tubuh Serena erat. Tak ada kalimat yang keluar dari bibir Olivia, gadis itu hanya menepuk pelan punggung sahabatnya, berusaha menguatkan atas apa yang terjadi.
Perlahan isak itu mulai terdengar. Hanya sesak yang Serena rasakan, namun rasa itu begitu menyakitkan seolah menusuk tubuhnya dengan begitu kejam. Isakan berubah menjadi raungan, kenapa tuhan.. kenapa ia harus mengalami takdir yang begitu kejam ini? Kenapa ia harus selamat? Harusnya ia yang pergi bukan Vivy ataupun Zaki!
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi
Teen Fiction(Belum diresvisi yaa^_^) harap maklum kalo ada typo atau penempatan tanda baca yang kurang tepat:) "Ser, aku mau kita udahan," "Kakak kamu hamil anak aku, Ser," "Maaf." Serena mematung mendengar itu, ia tak menyangka Natayla tega menikamnya dari be...