Epilog

192 13 5
                                    

Seorang anak kecil berlari menyusuri lorong rumah dengan air mata yang menggenang di kedua pipinya, Siera berteriak memanggil Ayah dan masuk kedalam pelukan Rialdi.

"Kenapa, sayang?"

"Bang Varellnya jahat.. dia mukul aku pake mobil," rengek gadis kecil itu, menyembunyikan kepalanya di pundak lebar Rialdi.

"Mana yang sakit, sayang?"

"Ini.." Siera mengusap ucuk kepala beberapa kali.

"Kamu ngelakuin apa sampe abang kamu marah?" Rialdi mengusap sembari meniup ucuk kepala kecil itu, seolah mengusir rasa sakit yang keponakannya rasakan.

"Aku gak ngelakuin apapun, kok. Dia tiba-tiba marah dan mukul kepala aku,"

"Dia bohong, Ayah! Tadi aku lagi main sama Fahri, terus dia datang dan ngerusak semua yang udah aku susun, jadi aku marah dan mukul dia!" teriak seorang anak berusia enam tahun, dia berlari ke arah Rialdi dan berdiri di depan laki-laki itu.

Helaan nafas terdengar begitu berat dari Rialdi, jika boleh jujur ia lelah harus menjadi peran ayah untuk kedua keponakannya, biar bagaimanapun Rialdi masih tak mengerti segala hal tentang peran itu.

Melihat Rialdi yang tak berkutik membuat Diana mengambil alih tubuh kecil Siera, ia membawa pergi Siera untuk menghentikan tangis yang semakin lama semakin kencang.

Sementara Rialdi merengkuh tubuh Varell yang sudah mulai bergetar, ia mencoba memberi nasihat pada anak dari Natayla itu secara perlahan. Biar bagaimanapun juga Varell masih anak-anak, ia belum mengerti mana yang baik dan mana yang buruk.

Lima belas menit kemudian Diana kembali membawa Siera pada Rialdi, wanita itu tersenyum lembut kala netranya menatap sang suami.

"Siera, ayo.. bilang apa sama Abang?"

"Abang.. maaf. Siera cuman pengen main sama Abang, Siera gak suka Abang yang nyuekin Siera terus.."

Gadis kecil itu menatap Varell dengan mata bulatnya, satu tangan terulur tanda jika ia benar-benar menyesal.

Tak ada jawaban dari Varell membuat gadis itu memanyunkan bibirnya, isak mulai terdengar kembali darinya membuat Diana memberi kode pada Rialdi jika laki-laki itu harus mencari cara agar Varell mau memaafkan Siera.

Ucuk kepala kecil itu Rialdi usap berkali-kali membuat si anak menatapnya sayu, "Abang, Abang mau kan maapin Siera?"

Anggukan menjawab tanya Rialdi, "kalo gitu bicara sama Siera, sayang,"

Varell berbalik untuk memeluk tubuh kecil Siera yang mulai bergetar, usapan di punggung menghentikan isak yang di pendam oleh gadis kecil itu, "udah, gak usah nangis terus, aku udah maapin kamu, kok. Tapi dengan satu syarat.. kalo kamu pengen main sama aku harus nurut dan gak boleh nakal,"

Anggukan menanggapi ucapan Varell, membuatnya melepaskan pelukan yang terjadi dan mengangkat kelingkingkingnya, "janji?"

"Janji,"

"Yaudah main ke sana, yuk," tangan kecil itu bergandengan lantas pergi meninggalkan Rialdi dan Diana yang tersenyum kecil melihat kelakuan mereka.

"Bagaimana rasanya menjadi seorang ayah untuk keponakan mu?"

Gelengan berkali-kali Rialdi layangkan, ia benar-benar tak bisa menjelaskan apa yang ada di dalam hatinya, begitu banyak tragedi yang terjadi selama enam tahun terakhir membuat perasaannya tak keruan. Mulai dari Natayla hamil, Serena yang di culik.. sampai adik bungsunya itu memilih untuk menyerah pada takdir dan membiarkan tubuhnya dilahap oleh aliran sungai yang begitu deras. Lima hari lamanya tim sar mencari tubuh Serena, namun tuhan memilih menyembunyikan jasad itu sampai akhirnya seorang nelayan menemukannya di laut lepas dengan kondisi yang sudah membusuk dan hampir tak bisa dikenali.

Tanpa terasa setetes cairan bening meluncur begitu saja dari kelopak mata Rialdi, kenapa tuhan, kenapa engkau mengambil Serena dengan begitu kejam? Kesalahan apa yang sudah adiknya perbuat sampai engkau menuliskan takdir yang begitu menyakitkan untuknya?

Diana yang melihat air wajah Rialdi berubah, segera memeluk tubuh besar itu erat, ia tahu sepahit apa perjalanan suaminya, ia juga mengerti rasa sakit yang dirasa oleh Rialdi, karena biar bagaimanapun ia juga ikut andil dalam kisah hidup suaminya dahulu, meski perannya hanya sebagai sahabat, namun ia ikut merasakan kala Rialdi kehilangan sosok adik yang begitu ia sayangi.

"Serena udah tenang, dia udah gak sakit lagi, dia udah gak takut sama apapun lagi.. sudah, jangan menyesali apa yang telah terjadi,"

"Kalo aja dulu aku lebih memperhatikannya, apa saat ini dia masih berada disini?"

"Enggak, sayang. Tuhan sudah menulis takdir semua umatnya, sekalipun kamu memperhatikan Serena lebih dari yang selama ini kamu lakukan, tak menutup kemungkinan tuhan akan mengabilnya bagaimanapun caranya. Jadi aku harap.. kamu gak menyalahkan diri terus, oke?"

"Bang? Kenapa nangis?" suara lembut Natayla menyapa gendang telinga Rialdi.

Tak ada jawaban dari Rialdi membuat Natayla menatap Diana yang tersenyum hangat padanya.

"Abang sama Sie mana?"

"Mereka lagi main di paviliun anggrek,"

Tak ingin berlama-lama di sana, Natayla pamit pada sepasang pasutri itu dan berlari kecil ke arah paviliun yang berada di ujung taman rumah.

"Halo.. lagi pada ngapain, nih?"

"Hai... Mom... lihat, aku bikin boneka teru teru bōzu, bagus, kan?"

Siera memperlihatkan boneka pada Natayla, "besokkan kita mau ke ruma Oma sama Opa, jadi nanti boneka ini akan aku gantungin di kamar biar besok cerah!"

Natayla tersenyum mendengar penuturan Siera, Serena kau benar-benar telah memilih keputusan yang salah. Lihatlah anakmu ini, dia tumbuh menjadi gadis pintar dan ceria. Andai dulu kau berpikir untuk terus berjuang dan sembuh, mungkin saat ini rasa bangga akan selalu mendampingimu kala melihat pertumbuhan Siera.

Bandung, 27 juni 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang