Luka

243 12 6
                                    

Tubuh Mahira sudah tak utuh, bahkan bibirnya terkoyak sampai telinga, namun kesadaran wanita itu masih terjaga sampai saat ini.

Tuhan, ini menyakitkan. Mahira sudah tak kuat menahan semua luka yang Aditya berikan. Sudah, tuhan. Ambil nyawanya sekarang juga, ia sudah tak tahan.

Ravin mengangkat tangannya yang memegang revolver, pelatuk ia tarik untuk membuat Aditya menghentikan aksinya.

Satu peluru bersarang di tangan kanan Aditya membuatnya melepaskan gunting yang ia pegang. Laki-laki itu menatap Ravin yang menyeringai padanya dengan tangan masih memegang senjata api.

Sontak kedua tangan terangkat sebagai tanda dirinya tak akan melakukan apapun.

"Gue gak nyuruh lo buat menghabisinya, loh. Lo pikir dengan dia mati, lo bakal selamat?"

Pertanyaan Ravin sukses membuat Aditya terdiam, ia pikir sepupunya itu akan melepaskannya jika ia menghabisi Mahira.

Langkah Ravin membawanya ke hadapan Aditya, revolver itu ia letakkan di atas kepala sepupunya, "tunggu arahan gue baru lo eksekusi, bukan inisitif sendiri."

Pelatuk Ravin tarik membuat Aditya memejamkan mata.

Laki-laki itu kembali membuka mata saat rasa sakit tak kunjung datang padanya dan netra itu menemukan Ravin yang tersenyum seolah mengejeknya.

Hening memenuhi ruangan membuat suasana menjadi lebih mencekam. Ravin memberikan revolver pada Aditya, lantas mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang pada sepupunya itu.

"Di sana ada satu peluru. Keputusan ada ditangan lo," ucap Ravin dengan wajah liciknya.

Revolver terangkat dengan tangan gemetar, Aditya tak bisa menentukan siapa yang akan ia tembak. Jika ia menyelamatkan Mahira, ia tak yakin wanita itu akan bertahan hidup dengan kondisi yang sudah tak sempurna. Namun, disisi lain ia juga tak ingin hidup dalam belenggu Ravin.

Hembusan nafas terdengar begitu berat, Aditya menatap satu persatu orang yang ada didepannya.

"Maafin aku, Ra." Revolver itu mengarah pada Mahira yang terbaring menatapnya, seolah memberi izin untuk Aditya mengakhiri penderitaannya.

Ravin menatap Mahira dalam dengan wajah pongahnya, "ucapkan selamat tinggal pada kekasihmu, Embun."

Suara yang begitu memekakan telinga terdengar memenuhi ruangan, namun Mahira tak merasakan ada peluru yang bersarang di tubuhnya.

Detik selanjutnya tubuh Aditya terjatuh begitu saja bersamaan dengan darah yang keluar dari kepala laki-laki itu.

"Sekarang kamu ngerti, kan, kenapa aku ngasih si brengsek itu revolver?"

Ravin mengangkat tubuh Mahira lalu dibaringkan ditempat yang lebih tinggi dari sebelumnya.

"Baiklah.. sekarang, giliran kamu,"

Laki-laki itu berjalan menjauhi Mahira untuk mengambil beberapa perkakas yang akan ia gunakan.

Baiklah.. semua sudah ada di depan mata, saatnya eksekusi!

Dua buah paku kini digenggam Ravin, tangan besarnya menancapkan baja runcing itu pada hidung mancung Mahira.

Cukup sulit untuk menembus indra penciuman itu karena darah yang sudah berlumuran dan Mahira yang tak bisa diam membuatnya sedikit jengkel dan tak sabaran.

Satu menit berlalu kini senyum puas terukir di wajah laki-laki itu, akhirnya paku tertancap sempurna di hidung sang kekasih. Dengan nafas yang menderu Ravin mendekati jasad Aditya dan mengambil telinga Mahira yang ada di dekatnya.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang