Akhir dari perjalanan

180 9 3
                                    

Aiden memasukan kombinasi angka untuk membuka pintu berwarna coklat itu. Ia tertegun ketika mendapati lampu ruang tengah yang masih menyala. Jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, tak seperti biasanya Elodie lupa mematikan lampu.

Perlahan langkah kaki membawanya ke depan sofa empuk yang menampung tubuh berisi Elodie, wanita itu terkulai lemas di atas sofa dengan tangan memeluk tubuh tanpa selimut. Aiden berjongkok di depan sofa, netra seindah safirnya menelisik setiap lekuk tubuh sang kekasih.

Dalam diam ia bertanya pada diri sendiri, apa selama ini Elodie bahagia hidup bersamanya? Apa saat ini Elodie sudah tak takut lagi padanya? Dan.. apa saat ini Elodie sudah bisa mencintainya kembali?

Aiden tahu jika selama ini Elodie selalu hidup dengan topeng, wanita itu tak pernah menunjukan emosi sama sekali di hadapannya atau pada siapapun. Tatapan sendu terlihat dari netra Aiden ketika memperhatikan wajah damai Elodie, kini penyesalan semakin menumpuk di hatinya. Akan sampai kapan ia terus melakukan ini? Ia benar-benar sudah tak bisa melihat wajah Elodie yang tak nyaman kala menatapnya.

Perlahan tangan besar itu menjamah wajah kecil yang ada di depannya, permintaan maaf terus ia sampaikan dalam hati untuk meredakan gejolak emosi yang tak ia mengerti.

Kenapa tuhan, kenapa engkau memberikan takdir yang begitu rumit untuknya? Kenapa engkau membangun bahtera yang begitu besar didalam hatinya jika sang ratu itu tak menginginkannya? Dan.. kenapa ia terlahir dengan obsesi yang begitu besar? Sedari dulu ia selalu bersikeras memiliki apa yang ia inginkan dan selalu melakukan apapun untuk meraihnya. Ia tak menyangka jika kisah cintanya-pun akan penuh dengan obsesi yang memuakan.

Merasa tidurnya terganggu, Elodie mengerutkan kening dan membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah Aiden dengan wajah sendu membuat kesadarannya seketika terkumpul dan menegakan tubuh.

"Hei, kenapa nangis?" suara serak itu mengalun pelan di telinga Aiden.

Gelengan menjawab tanya Elodie, Aiden tak mungkin menceritakan apa yang ia rasa pada kekasihnya. Ia tak akan mengakui jika penyesalan itu sudah mulai hadir dalam hatinya.

"Di sini dingin, kenapa gak tidur di kamar?"

"Tadi Fleur datang, tapi hanya sebentar. Aku juga nunggu kepulanganmu," senyum telukis, tangan itu mengusap rahang Aiden yang ditumbuhi cambang tipis.

"Ke kamar, yuk," ajak Aiden, menggiring tubuh Elodie yang sedikit limbung.

~~•_•~~

Lucy menepikan mobil di pinggir jalan, tangannya meronggoh tas dan mengambil ponsel. Satu nama yang otaknya panggil membuat tangan lentik itu mencari kontak dengan nama Olivia.

Telpon berdering cukup lama membuat kesabaran Lucy semakin terkikis. Olivia sialan, kenapa selalu mengabaikan panggilannya, sih?!

"Kenapa?"

"Liv, gue minta kontak keluarganya si Seren, sekarang!"

Orang di sebrang sana mengerutkan kening, tak biasanya Lucy meminta kontak orang lain seperti ini.

"Buat apa? Lo mau deketin kakaknya? Haha.. saran gue jangan deh, dia masih trauma sama kehilangan si Vivy. Lo gak bakal kuat ngadepinnya,"

"Gue juga gak selera sama tu cowok! Pokoknya gue minta kontak keluarga si Seren, secepatnya!"

Telpon terputus sepihak, Lucy menunggu sahabatnya mengirim apa yang ia inginkan.

Serena, maaf. Ia tak bisa memegang janjinya untuk tetap bungkam dan melupakan cerita yang begitu menyedihkan itu. Ia tak ingin teman masa kecilnya terus hidup dalam belenggu bajingan gila.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang