Sisi lemah

462 12 0
                                    

Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, Serena sudah pulang satu jam lalu, sementara Ravin masih berusaha agar matanya mau terpejam. Entah kenapa dari tadi sosok Mahira selalu datang didalam pikirannya, sosok itu terus mengganggunya sampai saat ini ia berbaring diatas kasur dengan netra memandang langit-langit kamarnya.

Otaknya kembali mengingat masa-masa dimana ia masih memiliki Mahira, wanita dengan kulit sawo matang yang begitu memesona dimatanya. Bagi Ravin tak ada satu wanitapun yang lebih indah dari Mahira, entah dirinya yang terlalu berlebihan ataupun bukan, yang jelas ia sangat bersyukur bisa bertemu dengan wanita sederhana itu.

Matahari menggantung dilangit berwarna biru dengan taburan awan yang berserakan disekitarnya, Ravin berbaring dipangkuan Mahira menikmati angin segar yang membawa aroma strawberi dari gadis itu.

Ia tak pernah bosan dengan sosok Mahira, wanita itu selalu berhasil membuatnya terkagum-kagum sampai terkadang ia kehilangan kalimat untuk menjelaskan seindah apa wanita itu dimatanya.

"Ravin... jangan liatin aku terus dong.." entah sudah berapa kali Mahira melontarkan kalimat yang berhasil membuat bibir Ravin tertarik keatas.

"Bun, kamu sadar gak kalo kamu itu indah?"

"Aku indah? Hehe, kalo emang aku seindah itu kenapa dulu aku selalu jadi bahan bullyan satu angkatan?" Mahira tersenyum pahit saat mengingat masa kelamnya disekolah.

Ravin terkekeh mendengar tanya itu sebelum menjawab, "karena kamu terlalu sempurna, Bun. Mereka iri sama kamu, Kamu pintar, kamu murid kesayangan semua guru yang mengajar bahkan kamu mendapat beasiswa full selama tiga tahun. Kamu anak emasnya angkatan kita, jadi siapa yang gak iri sama pacar aku yang pintar ini?" Ravin duduk disebelah Mahira sebelum mencubit hidung kecil wanita itu, gemas.

"Satu lagi, aku berhasil membuat laki-laki incaran semua siswi disekolah begitu tergila-gila padaku, jadi aku mendapat bullyan lebih ekstrim dari sebelumnya." kekeh Mahira saat otaknya mengingat masa dimana Ravin menembaknya dan hal itu sukses membuat satu sekolah gempar.

Ravin ikut terkekeh saat mengingat kejadian itu, ia tak mengira jika dirinya sepopuler itu dulu. Seingatnya ia tak pernah melakukan hal yang begitu mencolok selama berada disekolah.

"Dan kalo emang aku seindah itu, kenapa keluargaku begitu membenciku? Salah aku dimana? Selama ini aku selalu nurut apa kata mereka, aku selalu menjadi juara dikelas bahkan aku selalu jadi anak emas diangkatan aku, tapi kenapa semua yang aku lakukan tak berhasil meluluhkan hati mereka?" senyum getir Mahira perlihatkan, ada gurat kesedihan diraut wajah itu.

Ravin memandang wajah sendu itu tanpa berkedip, ia tahu keluarga wanita itu tak seharmonis keluarganya, kadang ia merasa kasihan saat melihat Mahira yang sudah berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari keluarganya berakhir sia-sia.

"Hei, kamu gak salah. Disini kamu korban, sayang."

Mahira menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha menahan air mata yang siap keluar kapanpun, "engga, ini semua karna aku. Kalo aja aku gak pernah ada dirahim bunda, mungkin sekarang mereka hidup bahagia, bunda dengan keluarganya yang sempurna dan ayah dengan seorang istri yang tak pernah membantahnya." isakan mulai terdengar dari bibir wanita itu.

"Kehadiran akutuh cuman sebuah kesalahan, hadirnya aku dalam hidup mereka cuman aib, aku gak berguna hidup juga, andai aku tak pernah dilahirkan mungkin mereka gak akan menanggung malu kaya sekarang~"

"Hei.. gak boleh ngomong kemana aja, kamu spesial, kamu berharga. Kalo keluarga kamu mengaggap kamu aib, maka aku mengaggap kehadiran kamu sebuah anugrah terbaik yang tuhan kasih. Dari milyaran wanita diluar sana, aku benar-benar bersyukur bisa menemukanmu, tanpa adanya kehadiranmu mungkin duniaku gak akan seindah ini!" ada penekanan disetiap kata yang terucap, menegaskan jika Mahira benar-benar berarti dihidup Ravin.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang