rasa khawatir

719 30 1
                                    

Ravin sudah kembali keapartemennya dengan bantuan Rialdi yang menggerutu disepanjang jalan membuatnya mendapat beberapa cubitan dari Serena.

Jam sudah menunjukan pukul sebelas lewat dua puluh menit, dan kedua kakak beradik itu masih anteng diruang tamu saling bertukar cerita sambil menyesap minuman yang kini sudah berubah menjadi hangat.

"Bang, lo nginep disini ya?!" suara itu terdengar begitu pelan dan ragu membuat Rialdi mengangkat sebelah halisnya dan menyesap kopi sebelum menanyakan kenapa dirinya harus menginap?

"Gue belum terbiasa diapart ini, terlalu sepi dan dingin. Gak ada mama yang selalu nyiram tanaman dipagi hari, gak ada papa yang selalu dimarahin karna bawa laptop kemeja makan, gak ada mba Nana yang...hahh..." ucapan itu tergantung begitu saja membuat Rialdi tahu jika Serena masih belum bisa beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya.

"Ren, nanti pulang sekolah coba lo bikin makanan atau camilan yang banyak sama si Vivy terus bagiin ketetangga lo, ya itung-itung ngenalin diri sama pemilik unit lain. Biar lo kali-kali bisa main ke mereka dan... lo punya temen baru."

"Tapi kan gue udah kenal satu pemili~"

"Si Ravin gak diitung! Dia udah masuk kehidup lo jadi gak usah diitung." Sebenarnya Rialdi masih waspada pada Ravin. Bukan tanpa alasan, ia hanya tak ingin melakukan kesalahan yang sama dan berakhir menyakiti adik kesayangannya lagi.

Rialdi harus mencari informasi lain tentang laki-laki itu secepatnya, karna informasi yang ia dapat hanya tentang keluarga Ravin, apa pekerjaannya, kesehariannya, dan beberapa fakta kecil yang tidak mencurigakan. Bukan apa-apa, ia hanya takut Ravin terlibat dunia yang mengerikan dan membawa adiknya kedunia yang sama, ia tak ingin hal itu terjadi.

"Bang! Woy, malah bengong," tegur Serena saat tak ada jawaban dari sang kakak, "gue lapar nih, bikin mie yukk!" Rialdi menatap Serena dengan mata memicing, alih-alih mengajak, suara itu malah terdengar seperti 'temenin gue makan mie yaa... gue gak mau makan sendirian dan berakhir gendut sendirian.'

Tanpa menunggu jawaban dari Rialdi, Serena langsung berjalan kearah dapur dan membuat dua porsi mie instan untuk mereka berdua. Rialdi mengikuti adiknya kedapur dan duduk dimeja makan, memperhatikan Serena yang sedang menuangkan bumbu kedalam mangkuk.

"Pake cabe gak, bang?" Serena bertanya tanpa menolehkan kepalanya, ia tahu jika Rialdi berada dimeja makan karna suara ketikan diponsel sang kakak yang berbunyi.
"Engga, gue masih sayang sama lambung."

"Ren, lo tau kalo hubungan si Ravin sama keluarganya gak terlalu baik?" entah ada dorongan dari mana Rialdi menanyakan sesuatu yang cukup sensitif tentang Ravin.

Mendengar itu membuat Serena yang sedang memindahkan mie kedalam mangkuk sontak menolehkan kepalanya, "maksud lo?"

Rialdi terdiam mendengar tanya itu, jika Serena tak mengetahui informasi tentang keluarga Ravin berarti laki-laki itu tak begitu terbuka pada adiknya.

"Gak, lupain." mendengar itu membuat Serena berdecak, ia tak suka jika ada orang yang memberinya informasi setengah-setengah seperti ini.

"Bang, tadi siang mama ngechat gue nyuruh pulang. Bagusnya gimana?" tak ingin terlalu larut karna penasaran tentang keluarga Ravin, Serena mengalihkan topik. Ia berjalan kearah Rialdi dengan dua mangkuk mie instan ditangannya.

"Terus lo jawab apa?" Serena menggelengkan kepalanya menjawab tanya Rialdi.

"Gak gue jawab, gue gak mau jadi baper lagi kaya kemaren tar berakhir dimarahin lagi." raut wajahnya terlihat sendu dibawah cahaya lampu dapur yang temaram, ia menyuapkan mie kedalam mulutnya dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.

Rialdi tertegun melihat wajah yang awalnya tenang itu berubah menjadi sedih, ia tahu dari kecil Serena selalu sepemikiran dengan Alleta, sekalinya berbeda pendapatpun tak lama kemudian mereka pasti kembali lagi seperti semula. Keduanya tak pernah bertengkar sehebat ini sampai Alleta kalap dan membuat Serena harus keluar dari rumah.

"Gue tau hubungan lo sama mama lagi gak baik, jadi gue gak bakal nyuruh lo pulang atau ngelarang lo buat pulang. Ikuti apa kata hati lo, Ren. Kalo lo udah bisa nerima keadaan dirumah dan udah bisa ngerelain si Zaki sama si Nana, lo mau pulang kapanpun gue gak bakal ngelarang."

Serena yang mendengar penuturan Rialdi berusaha menahan air matanya agar tak keluar lagi, biar bagaimanapun ia masih sensitif jika membahas tentang keluarganya.

"Jangan nangis! Gue gak mau liat orang nangis didepan makanan!" larang Rialdi karna melihat air mata yang sudah berdesakan dipelupuk mata Serena. Sebenarnya ia tak ingin melihat sang adik kembali menangis dan melupakan mie yang kini tinggal setengah itu.

Tak ada yang memulai percakapan lagi sampai mie dimangkuk keduanya habis, Serena langsung membawa kedua mangkuk itu kewastafel dan mencucinya.

"Ngomomg-ngomong lo suka sama si Ravin?" tiba-tiba tanya itu meluncur dari mulut Rialdi saat Serena masih bergelut dengan air dan sabun.

"Kenapa nanya gitu?" Serena tak mengalihkan pandangannya dari mangkuk kotor, "lo mau ngelarang gue buat deket sama dia kaya si Vivy yang bawaannya curiga terus sama si Ravin?"

"Ck, bukan gitu, Ren. Gue cuman nanya, kalo lo udah suka sama si Ravin bagus dong berarti lo udah ngerelain si Zaki," ada nada kesal dari suara itu, Rialdi tahu jika dirinya masih belum mengizinkan Serena pacaran tapi saat adiknya berbicara seperti itu entah kenapa hatinya menolak sadar jika dirinyapun masih menaruh curiga pada Ravin.

"Suka sih belum, cuman akhir-akhir ini dia sering nyuri perhatian sampe gue lupa sama masalah yang lagi gue hadapin," jujur Serena sambil berjalan kearah sang kakak dan duduk didepannya, "tadi aja gue diajak kevila milik dia yang ada dipuncak. Tempatnya nyaman sihh cuman akses buat kesana agak ngeri, tadi aja pas pulang kita dicegat sama begal dihutan pinus, untung aja si Ravin nyuruh gue buat ngebut dan jangan peduliin apapun sekalinya gue nabrak orang, terus pas keluar dari hutan pinus kita masuk keperkebunan warga, gue kira udah aman taunya ada setan yang ngeganggu kita sampe si Ravin jatuh dari motor." Serena menceritakan apa yang ia alami selama diperjalanan pulang membuat Rialdi merasa sedikit bersalah karna sudah menyuruhnya pulang saat itu juga.

"Terus lo liat gak setannya?" tanya Rialdi mendapat gelengan dari Serena.

"Liat wujudnya sih engga, cuman dia ngomong ditelinga kiri gue. Katanya kalo gue mau selamat tinggalin si Ravin, apa coba maksudnya?" ucapan itu sukses membuat Rialdi mengerutkan keningnya heran, "suaranya kecil banget bahkan kaya berbisik, pas gue liat kearah kiri gue gak liat sosok itu. Terus pas kita jalan dia ngomong lagi, katanya turutin apa katanya kalo gue gak mau nyesel." Serena mengutarakan apa yang menganggu pikirannya, ia sudah siap jika Rialdi akan menyebutnya gila.

Rialdi menatap wajah adiknya menelisik, ia tahu jika Serena tak akan berbohong karna adiknya itu tak pernah menyinggung soal makhluk halus atau hal-hal yang berhubungan dengan mereka.

"Gue tau lo gak bakal percaya sama cerita gue, karna gue juga gak percaya sama hal kaya gitu. Awalnya gue pikir itu cuman imajinasi karna gue terbawa suasana yang pas itu emang agak merinding, tapi kalo dipikir lagi kenapa cewek itu nyuruh gue buat ngejauhin si Ravin, terlebih dia ngomong kalo dia pengen nyelamatin gue." dahi Serena mengerut merasa hal itu diluar akal sehat namun berapa kalipun ia menepis nalurinya selalu merasa jika itu hal yang nyata.

~~Bersambung~~

Sumedang, 09 september 2023

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang