Ravin memaksa Serena untuk membuka mulutnya, sepuluh menit waktunya terbuang namun perempuan itu masih tetap bungkam.
"Babe.. jangan gini, aku harus ke cafe dan banyak pekerjaan yang harus aku urus. Please.. kamu buka mulut, ya. Kamu harus makan,"
Serena masih tetap pada pendiriannya, ia tak membuka mulut bahkan ia terus menghindar dari tatapan Ravin membuat laki-laki itu hilang kesabaran dan membanting piring yang ia pegang.
"Serena jangan kaya gini! Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama kamu, aku gak mau kamu berpaling sama yang lain, aku mau kamu cuman mencintaiku seorang, gak ada yang lain."
"Bukan dengan cara ini, Ravin! Kamu malah bikin aku takut sama kamu!" Serena terus memalingkan wajahnya agar tak bersitatap dengan Ravin.
"Terserah, yang pasti aku gak akan pernah membebaskanmu dari sini. Ingat itu!" setelahnya Ravin pergi meninggalkan Serena yang tak percaya dengan perubahan sikapnya.
Serena melirik Vivy yang terdiam di belakangnya, sekuat itu sahabatnya bertahan, mungkin selama di sekap ia terus menerima perlakuan yang sangat tak manusiawi ini dari Ravin.
Perlahan kaki jenjang Serena mendekati Vivy yang masih tak berkutik itu, tanpa sadar tangannya merengkuh tubuh ringkih Vivy dalam pelukannya. Serena tak tahu setakut apa Vivy sampai tak merespon dirinya.
"Selama gue masih di sini, dia gak akan pernah nyentuh lo. Inget itu baik-baik,"
Sebenarnya Serena sama takutnya dengan Vivy, namun ia tak ingin menambah ketegangan yang ada di basement itu. Mati-matian ia terus menekan isakan agar Vivy tak merasa lebih trauma dari ini.
"Maafin gue, Vy. Maafin gue.." Serena kembali mengingat saat dimana Vivy begitu menentang hubungannya dengan Ravin, "andai dulu gue dengerin pendapat lo, andai dulu gue gak mentingin ego sendiri mungkin sekarang kita gak ada disini,"
"Jangan menyesali keputusan lo, kita sama-sama salah. Lo salah karena gak dengerin gue, gue juga salah karena perlahan rasa curiga gue hilang dan merestui hubungan kalian. Jadi sekarang.. ayo kita hidup untuk melanjutkan takdir, soal siapa yang akan terbunuh duluan itu urusan nanti, sekarang kita saling menguatkan dan harus bertahan sampai akhir,"
Vivy melepaskan pelukan Serena lantas menggenggam kedua tangan sahabatnya, "ayo kita buktikan sesetia apa persahabatan kita," senyum penuh makna tersunging di bibir pucat Vivy.
~~¤¡¤~~
Ravin menepuk pipi Serena beberapa kali untuk membangunkan, namun rupanya cara seperti itu tak membuat Serena mengakhiri mimpi indahnya. Ravin sedikit gemas pada kekasihnya itu, biasanya ia akan terbangun jika ada gesekan atau suara kecil, namun saat ini Serena terlalu nyenyak tidur.
Ravin tak menyerah begitu saja, dengan cepat tangannya mengayun, membuat gelas yang ia pegang menumpahkan muatannya ke wajah sang kekasih.
Serena terbangun dengan wajah terkejut, hal pertama yang ia lihat adalah Ravin dengan wajah masamnya. Laki-laki itu menenteng dua piring nasi beserta lauk untuk Serena dan Vivy.
"Kali ini aku gak nerima penolakan, kalian harus makan!" nada yang terucap begitu dingin menandakan jika Ravin tak ingin di tolak.
Serena melirik Vivy dan mengagguk ketika sahabatnya itu memberi kode. Perlahan tangan gemetar itu mengambil piring yang Ravin sodorkan dan menyuapkan nasi kedalam mulutnya.
Entah kenapa rasa masakan yang biasanya enak kini berubah menjadi mengerikan, Serena takut jika di dalam makanan itu terdapat racun atau sejenisnya.
Raut wajah Ravin berubah melihat Serena makan meski dengan takut, laki-laki itu mengacak ucuk rambut sang kekasih, "tenang aja, aku gak ngasih racun apapun ke dalam makanannya,"
Serena melanjutkan makannya dengan was-was, ia tak ingin mempercayai perkataan Ravin begitu saja. Namun di sisi lain ia juga tak ingin membuang energinya hanya untuk berdebat dengan sang kekasih.
"Gadis pintar.." sekali lagi Ravin mengusap ucuk rambut Serena membuat netra itu menatapnya tajam.
Tanpa di duga tangan Serena melayang ke wajah Ravin dan mendaratkan satu pukulan telak membuat laki-laki itu tersungkur didepannya. Tanpa menunggu waktu, Serena segera menghampiri Ravin dan menggeledah semua kantong yang ada di baju kekasihnya.
Dapat! Dua kunci berhasil didapat membuat Serena maupun Vivy berteriak senang.
Serena membuka rantai yang membelenggu dirinya lantas berlari dengan kaki lemasnya untuk melepaskan Vivy yang sudah tak berdaya.
Keduanya merasa senang bukan main melihat Ravin yang masih tersungkur di pojok sana, dengan langkah gontai Serena memapah Vivy untuk pergi dari ruangan terkutuk itu.
Serena sudah tahu jika basement yang di pakai Ravin untuk menyekapnya adalah tempat yang sama dimana laki-laki itu menghabisi nyawa Mahira. Ia mengetahui fakta itu dari Vivy yang menunjukan beberapa hiasan dinding yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ah sial.. kenapa pintu keluar terasa sangat jauh, sih? Kenapa langkah kakinya terasa sangat berat? Mungkinkah ini efek tak makan selama dua hari?
"Ren, gue bisa kok lari sendiri," Vivy melepaskan tangannya dari pundak Serena dan berlari mengimbangi sahabatnya itu.
Ravin mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menghilangkan kunang-kunang yang terus menghalangi pandangan, ia tak menyangka jika Serena bisa memukulnya sekuat itu.
Tidak, Serena tak boleh keluar dari basement ini, ia harus tetap disini apapun yang terjadi! Dengan sekuat tenang Ravin memaksa tubuhnya berdiri dan mengejar sang kekasih yang akan memegang kenop pintu.
Berhasil! Langkah Ravin mampu mendahului Serena yang ingin memegang kenop pintu, sambil menyeka darah yang keluar dari hidungnya, Ravin menyeringai pada sang kekasih, memberitahu jika mereka tak bisa keluar begitu saja dari basement itu.
Serena menyembunyikan Vivy di balik punggungnya, ia mengatur nafas beberapa kali untuk menetralisir rasa yang bergejolak di hatinya, "lo mau gue, kan?" bisiknya membuat Ravin mengagguk beberapa kali, "maka lepasin si Vivy,"
"Gak bisa, babe. Dia udah terlalu banyak ikut campur dalam hubungan kita," nada yang keluar dari mulut Ravin terdengar biasa seperti hal ini bukan sesuatu yang serius.
"Ravin, ayolah.. kalo lo lepasin si Vivy, gue janji bakal nurut apapun perkataan lo,"
Ravin menatap Serena dalam, seolah mencari kebohongan di netra berwarna hazel itu, "apa jaminannya kalo si Vivy gak akan melaporkan kejadian ini sama polisi?"
Salah satu sudut bibir Serena terangkat mendengar pertanyaan Ravin, ternyata laki-laki itu masih memiliki rasa takut pada hukum.
"Gue jamin dia gak bakal buka mulut, apapun yang terjadi,"
Helaan nafas terdengar dari Ravin sebelum kepala itu menggeleng beberapa kali membuat Serena menurunkan bahunya.
Serena ingin pergi bersama Vivy, namun jika tuhan tak mengijinkannya maka biarkan Vivy saja yang selamat. Ia tak ingin mati mengenaskan di hadapan sang sahabat ataupun melihat kematian sahabat yang begitu ia sayangi.
Serena menundukan kepalanya seolah ia menyerah pada negosiasi yang gagal, namun beberapa detik setelahnya tangan itu kembali melayangkan pukulan pada perut Ravin.
Namun kali ini Ravin berhasil menangkis serangan Serena, ia menahan tangan yang lebih kecil darinya itu dengan satu tangan, "kamu gak bisa melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya, babe.."
Serena tersenyum penuh arti sebelum kaki itu menendang wajah Ravin dengan sangat kuat.
Ravin kembali tersungkur membuat Serena maupun Vivy tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan kekuatan yang tersisa keduanya berlari sekuat yang mereka bisa.
Akhirnya! Serena keluar dari ruangan terkutuk itu!
Meskipun hujan mengguyur bumi begitu deras, hal itu tak menyurutkan rasa bahagia Serena karena bisa menginjak tanah lagi. Serena tertawa dibawah hujan dengan tangan yang terus direntangkan seolah menerima air hujan mengguyurnya tanpa ampun.
~~Bersambung~~
Bandung, 15 April 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi
Teen Fiction(Belum diresvisi yaa^_^) harap maklum kalo ada typo atau penempatan tanda baca yang kurang tepat:) "Ser, aku mau kita udahan," "Kakak kamu hamil anak aku, Ser," "Maaf." Serena mematung mendengar itu, ia tak menyangka Natayla tega menikamnya dari be...