tak ingin jadi nyamuk

610 29 2
                                    

Serena kini duduk bersama Aksa dan teman-temannya, dia merasa canggung saat mereka melontarkan satu lelucon yang langsung membuat semua orang tertawa kecuali dirinya dan siapa itu? Pemuda dengan wajah dingin yang tak peduli apapun.

"Gak usah diliatin terus tar lo naksir sama dia." suara Aksa terdengar ditelinga Serena membuatnya menolehkan kepala, "kan lo udah punya si..siapa sihh namanya?"

"Ravin." Olivia menjawab tanya Aksa yang menggantung.
"Nah, iya, si Ravin."

"Tapi Ren, lo serius sama dia?" entah kenapa Olivia menanyakan hal yang membuat Serena menggerakan bahunya keatas tanda jika dirinya masih bingung dengan status mereka.

Setelahnya Serena tak terlalu masuk kedalam obrolan mereka karna dia tak begitu mengerti dunia geng dan tauran. Ia hanya mendengarkan sambil melamun, kadang juga ia menjawab tanya yang kadang terlempar untuknya.

Bel pulang berbunyi, tak berselang lama Serena bisa melihat para murid berhamburan keluar dari kelas dengan berteriak girang. Bibirnya menyungingkan sedikit senyuman dan hatinya sedikit merasa bahagia, ternyata dihukum tak seburuk yang Serena bayangkan.

Tak berselang lama pak Jamal terlihat berjalan kearah Serena yang masih duduk dibawah pohon rindang, ia menatap satu-persatu murid yang masih duduk santai itu dengan tatapan jengah. Jika boleh ia jujur sebenarnya pak Jamal sudah muak harus melihat anak berandalan itu, ia ingin mereka segera lukus dari sekolah ini agar tugasnya tak terlalu banyak.

"Serena, kamu udah gabung sama geng berandalan ini?!" suara itu terdengar begitu nyaring ditelinga Serena membuatnya hanya menggelengkan kepala, takut.

"Pak, jangan marahin Serena dulu. Tadi dia pingsan makannya gue bawa kesini." bela Aksa karna tak ingin nama baik saudaranya tercoreng dimata pak Jamal.

Pak Jamal yang mendengar itu hanya mengagguk angkuh dengan mata yang menelisik kearah mereka, "kalo dia pingsan kenapa gak dibawa ke uks?"

"Karna dia berat, Pak. Gue gak bisa ngegendong sampe uks." ucapan Aksa berhasil membuat Serena melotot dan langsung mencubit pinggang pemuda itu.

"Sakit, monyet!" protes Aksa saat merasakan cubitan yang cukup keras.

"Udah, udah. Sekarang kalian boleh pulang. Tapi inget langsung pulang, jangan keluyuran. Bapak selalu dapet telpon dari orang tua kalian kalo anak mereka belum nyampe rumah!" nadanya penuh penekanan menegaskan jika ini perintah yang harus mereka lakukan, "kalo mau mampir kerumah sakit ijin dulu sama orang tua kalian. Sekarang bubar!"

Kedelapan orang itu langsung berdiri dari duduknya dan mencium tangan pak Jamal sebelum pergi meninggalkan guru itu.

"KALIAN! BAWA SAMPAH-SAMPAH INI! BUANG KETEMPAT SAMPAH!" tak lama setelahnya pak Jamal berteriak membuat ketujuh orang itu lari sekencang yang mereka bisa, tapi tidak dengan Serena, gadis itu malah mematung dan membalikan badan kearah pak Jamal dengan perasaan campur aduk ia memungut sampah yang berserakan dibantu oleh pak Jamal, "Serena, kenapa kamu punya saudara senakal Aksa sih? Jujur bapak capek harus menghadapi mereka!" keluh pak Jamal mendapatkan kata maaf dari Serena, ia tahu jika saudaranya bahkan lebih nakal dari ini. Jangankan guru disekolah, orang tuanya saja sudah muak dan tak peduli pada Aksa.

Vivy yang melihat Serena memungut sampah bersama pak Jamal hanya bisa memperhatikan dari kejauhan. Ia tak berniat menghampiri sahabatnya itu karna ini memang kesalahan yang Serena buat dan ia tak bisa membelanya.

Pikiran Vivy berkelana entah kemana, hari ini Serena terlihat tak baik, ia tahu jika sahabatnya sedang banyak pikiran.

Malam ini Vivy berniat menginap dipartemen Serena jadi ia menunggu gadis itu menyelesaikan pekerjaannya.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang