pengkhianatan

693 16 5
                                    

Ravin menyaksikan bagaimana kejamnya Selania terhadap Mahira, terbukti dari Mahira pulang kerumah dengan tubuh lemah karna tertabrak, wanita itu hanya melirik dari atas sofa tanpa berniat beranjak dari sana.

Ravin yang memapah kekasihnya berusaha agar emosinya tak meledak saat itu juga karna melihat Selania yang seolah tak acuh dengan kedatangan mereka.

Laki-laki itu membawa Mahira ke dalam kamarnya yang berada dipojok ruangan. Ravin tahu penderitaan yang dialami kekasihnya dirumah terkutuk itu, namun ia tak bisa membantu lebih dari itu karna ia sadar jika posisinya dirumah itu hanya sebagai kekasih Mahira, ia tak bisa berbuat lebih dari ini.

"Makasih." Mahira baru mengeluarkan suara saat Ravin sudah membaringkannya diatas tempat tidur.

"Bun, kenapa sihh kamu gak mau tinggal diapartemen aku untuk sementara? Hanya sampai luka-luka ini ngering, disana bakal ada orang yang ngerawat kamu, kamu bakal sembuh dalam waktu singkat." Ravin tak menyerah untuk membujuk Mahira yang sudah menolak penawarannya itu beberapa kali

Mahira menggelengkan kepalanya beberapa kali, netranya tak lepas dari Ravin yang menatapnya penuh kekhawatiran, "engga, luka aku gak separah itu kok. Aku juga bisa ngerawat lukanya sendiri."

"Tapi, Bun~"

"Hei, gakpapa. Aku bisa sendiri, oke?" nada yang terucap begitu lembut, seolah meyakinkan Ravin jika Mahira bisa merawat luka itu sendiri.

Ravin yang sudah kehilangan kesempatan untuk memberikan penawaran hanya bisa menghela nafas dengan wajah lesu, "yaudah kalo itu keputusan kamu, aku gak bisa maksa. Tapi janji, kalo ada apa-apa langsung hubungi aku, oke?"

Mahira hanya tersenyum sebelum mengaggukan kepala tanda ia mengerti.

~~>○<~~

Ravin sudah pulang satu jam lalu, kini dikamar itu hanya ada Mahira yang menyembunyikan wajahnya diatas bantal, berusaha meredam suara pilu yang keluar dari mulutnya.

Sakit!

Sebenarnya semenjak ia pulang kerumah obat bius yang diberikan dokter sudah hilang, luka yang telah dijahit oleh dokter seketika menyalurkan rasa sakit pada seluruh tubuh. Mahira cukup sulit menyembunyikan rasa sakit itu dihadapan Ravin, namun sekuat tenaga ia berusaha menahan rasa yang terus berontak itu. Bukan tanpa alasan Mahira menyembunyikannya dari Ravin, ia hanya tak ingin kekasihnya itu terlalu khawatir.

Ah... kenapa kecelakaan ini harus terjadi padanya? Tuhan.. tolong, selain harus pergi kuliah, ia juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

Mahira tak berhenti mengelurkan air matanya sampai seseorang mengetuk pintu kamarnya, meminta izin untuk masuk. Dengan cepat Mahira mengusap air mata yang terus keluar dari netra indahnya dan menekan suara senormal mungkin sebelum mengijinkan orang itu masuk.

Mendengar izin dari Mahira langsung saja Aditya membuka pintu kusam yang tertutup itu, kepalanya menyembul dari balik pintu sebelum kedua kaki itu membawa tubuh besarnya memasuki kamar Mahira.

Aditya menelisik setiap sudut kamar Mahira tanpa mempedulikan wanita yang duduk diatas kasur dengan tatapan waspadanya, laki-laki itu mengerutkan kening saat melihat ruangan yang begitu pengap itu, "ini... kamar lo?"

"Kalo iya, kenapa?" Mahira mengira jika orang yang mengetuk pintu itu adalah Ravin, maka sebisa mungkin ia menetralkan raut wajahnya. Namun ternyata malah Aditya yang masuk kedalam kamarnya dan hal  itu sukses membuat Mahira waspada pada laki-laki itu.

"Mukanya gak usah tegang gitu, lagian gue gak bakal merkosa lo!" Aditya yang pada dasarnya tak bisa basa-basi langsung melayangkan dugaan yang Mahira waspadai.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang