"Bermainlah sepuasnya malam ini, aku sudah lelah dan tak ingin bertengkar lagi dengan mu, Babe," Ravin tersenyum hambar ketika pintu basement itu terbuka dengan keras.
Langkahnya membawa tubuh lumpuh itu masuk ke basement yang dingin sebelum membantingnya ke sudut dinding yang keras.
Ravin tak melirik Serena sedikitpun, tubuhnya sudah terlalu lelah untuk berdebat dengan kekasihnya itu. Biarlah mereka saling melepaskan rindu untuk malam ini. Ravin rela sang kekasih bermalam dengan masa lalunya.
Netra berwarna zambrud itu melebar melihat Zaki yang tak berkutik sedikitpun, tubuh Serena bergerak begitu saja, menghampiri sosok yang dulu pernah ia cintai.
"Zaki, kenapa lo di sini?" lirih Serena ketika jarak diantara mereka sudah sangat dekat.
Tak ada jawaban dari Zaki membuat Serena semakin mendekatkan tubuhnya pada laki-laki itu, "jawab gue!"
Tatapan sendu Zaki layangkan pada Serena yang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Banyak lebam di tubuh kurus itu dengan baju compang camping membuat hati Zaki teriris melihatnya.
Beberapa kali Serena memberikan sentuhan pada Zaki, namun tak ada respon yang berarti dari tubuh itu membuatnya yakin jika Ravin telah memberikan obat penenang pada Zaki.
Amarah sudah tak bisa Serena bendung, cukup! Ini sudah keterlaluan! Tak seharusnya Ravin menyekap Zaki yang tak ada sangkut pautnya dengan dirinya lagi.
"Bego, kenapa lo ke sini, sih? Gue gak mau lo terlibat, gue gak mau masalah makin runyem karena si brengsek itu mikir kalo kita masih punya rasa," pukulan kecil Serena layangkan pada Zaki.
Ingin rasanya Zaki mengusap air mata yang keluar dari netra seindah zambrud itu lantas memeluk tubuh gemetar Serena dengan berkata jika semuanya akan baik-baik saja. Namun apalah daya, jangankan untuk menggerakan tangan, untuk berbicarapun ia tak bisa.
Netra coklat itu beralih pada Vivy yang tak bergerak dari tempatnya dengan tangan yang di ikat ke tiang. Serena mengikuti arah pandang Zaki dan memberi tahu jika kondisi Vivy semakin hari semakin menurun.
Zaki kembali menatap Serena seolah berkata jika semua akan membaik, ia juga memberi kode pada adik iparnya itu jika ponsel miliknya berada di saku celana.
Secercah harapan terlihat dari binar redup itu, dengan cepat tangan Serena menggeledah saku Zaki dan tentu saja ia meminta maaf terlebih dahulu karena lancang meraba tubuh laki-laki itu.
Senyum penuh harapan terlihat dari wajah kumal itu kala tangannya berhasil menemukan benda pipih. Reflek Serena langsung membuka kunci pada ponsel pintar itu dan tertegun ketika layar terbuka.
Ujung mata Serena melirik Zaki yang masih terdiam di depannya, ternyata laki-laki itu masih menggunakan kata kunci yang sama setelah mereka tak ada lagi komunikasi.
Tak ingin terlalu larut dengan hal yang tak penting, jari Serena segera menari di atas ponsel dan mencari nama sang kakak untuk mengabari keadaannya saat ini.
"Bang, gue Serena. Gue gak tau lokasi gue saat ini, tapi cepet ke sini, gue butuh lo! Si Vivy di tembak!"
Satu kalimat berhasil membuat rasa lelah Rialdi menguap. Ini suara Serena, kenapa adiknya menelpon dengan ponsel Zaki? Di mana keberadaannya sekarang?
"Ren, lo di mana?"
"Gue gak tau lokasi pastinya, tapi gue di sekap di villa si bajingan gila itu!"
"Si bajingan gila? siapa dia? Coba jelasin pelan-pelan,"
"Gak ada waktu buat jelasin, bang. Gue harap lo bisa lacak keberadaan gue secepatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi
Teen Fiction(Belum diresvisi yaa^_^) harap maklum kalo ada typo atau penempatan tanda baca yang kurang tepat:) "Ser, aku mau kita udahan," "Kakak kamu hamil anak aku, Ser," "Maaf." Serena mematung mendengar itu, ia tak menyangka Natayla tega menikamnya dari be...