Serena duduk di paha Ravin dengan segelas coklat panas di tangannya, netra itu tak lepas dari layar laptop yang menyala, ia tak menolak ketika sang kekasih menyembunyikan wajah di leher putih miliknya.
Serena terkadang hilang fokus ketika hembusan nafas Ravin terasa menggelitik untuknya, "by... jangan nafas di leher aku, geli!"
Entah sudah berapa kali Serena protes, namun tak di dengar oleh laki-laki itu. Satu tangan Ravin semakin memeluk perut Serena erat sementara tangan satunya lagi ia angkat untuk memutar kepala Serena.
Ravin berhasil mencium bibir ranum itu, ciuman pertama memang tak lama, namun untuk kedua kalinya laki-laki itu tak membiarkan Serena mengambil nafas. Beberapa kali gadis itu memukul dada Ravin untuk mengakhirinya, namun tak di gubris sedikitpun.
Ravin melumat, menggigit bahkan memaksa Serena untuk membuka bibir agar lidah miliknya masuk ke dalam bibir gadis itu. Malam ini ia mempertaruhkan harga dirinya di depan sang kekasih, Ravin sudah tak peduli dengan pandangan Serena setelah ini.
Penolakan terus Serena layangkan, ia tak segan memukul dada bidang Ravin untuk menghentikan laki-laki itu, namun rupanya usaha yang ia lakukan tak membuahkan hasil apapun ketika Ravin berhasil menerobos pertahanannya.
Serena tak berkutik ketika Ravin memporak porandakan mulutnya, ia tak bisa melawan ketika sang kekasih sudah menguasai permainan.
Tangan Ravin perlahan masuk ke baju Serena dan mengelus pelan perut ramping itu. Halus dan lembut, itu hal pertama yang Ravin rasakan ketika bersentuhan dengan kulit Serena.
Ravin menghentikan ciuman mereka, perlahan netra itu terbuka untuk melihat sosok yang ada di pangkuannya. Ravin sudah mempersiapkan diri jika setelah ini Serena akan marah dan mencacinya, ia sudah siap mendapat pukulan dari sang gadis.
Netra itu melebar melihat wajah Serena yang memerah, gadis itu menyembunyikan wajahnya di dada Ravin karena malu. Namun sayang perlakuan Serena membuat sesuatu yang ada di dalam diri Ravin keluar begitu saja, dengan sekejap tubuh itu tak lagi berada di pangkuan Ravin.
Serena tak bisa berkutik ketika tubuhnya terbaring di atas sofa, ia bahkan tak menunjukan penolakan atau berontak sedikitpun ketika Ravin berada di atas tubuhnya, yang ia lakukan hanya memperhatikan bagaimana laki-laki itu membuka bajunya dan menjelajahi leher jenjang miliknya.
Lengguhan Serena terdengar memenuhi ruangan dingin itu, entah apa yang merasuki keduanya sampai malam itu menjadi malam yang panas.
~~°_°~~
Sinar mentari mengusik tidur nyenyak Serena. Hangat dan nyaman, itu hal pertama yang Serena rasakan di sekujur tubuhnya, ia tak ingat kapan mereka berpindah tempat, yang ia ingat hanya bagaimana Ravin membuatnya terbang tadi malam.
"Tidur lagi, ya. Hari ini kamu gak perlu sekolah," suara Ravin terdengar pelan dan serak, tangan itu memeluk pinggang Serena erat, seolah tak akan melepaskannya.
Serena berbalik menghadap sang kekasih, netra itu menatap wajah indah yang berada di depannya sebelum memeluk tubuh tanpa baju itu sama eratnya.
"Makasih, babe." Ravin mencium pelipis Serena pelan sebelum kembali tidur di pagi yang cerah.
Netra sehijau zambrud itu terbuka, namun ia tak melihat kehadiran Ravin di kamar itu. Dengan perlahan ia bangun dari ranjang dan memakai kain putih untuk menutupi tubuh polosnya.
Aroma rempah membuat kaki jenjangnya membawa tubuh Serena ke dapur, benar saja ia menemukan Ravin tengah fokus di depan kompor. Perlahan langkah itu mendekati sang kekasih, Serena tak bersuara sedikitpun sampai tangan itu memeluk pinggang Ravin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi
Teen Fiction(Belum diresvisi yaa^_^) harap maklum kalo ada typo atau penempatan tanda baca yang kurang tepat:) "Ser, aku mau kita udahan," "Kakak kamu hamil anak aku, Ser," "Maaf." Serena mematung mendengar itu, ia tak menyangka Natayla tega menikamnya dari be...