melawan rasa takut

581 26 0
                                    

Tak terasa jam sudah menunjukan pukul dua siang, Serena dan Vivy sudah kembali ke apartemen, keduanya berpencar melakukan kegiatan masing-masing.

Vivy sibuk didapur sementara Serena baru keluar dari kamar mandi dengan rambut dicepol keatas. "Mau kemana?" tanya itu keluar dari mulut Vivy. ia melirik Serena dengan ujung matanya, tumben sekali sahabatnya itu sudah mandi dua kali.

"Hehe mau ngedate sama si Ravin, kepantai." Serena memamerkan deretan giginya membuat Vivy mengerutkan kening bingung, dengan cepat kepalanya menoleh pada si gadis.

"Bukanya lo takut pantai, ya?" satu pertanyaan keluar dari mulut Vivy.

"Ya, tapi gue mau lawan rasa takut itu. Gue capek Vy, tiap kali diajak kepantai pasti nyari alesan buat gak ikut." jawaban Serena berhasil membuat Vivy mengaggukan kepala. Vivy bukannya tak pernah mengajak Serena ke pantai, namun ia sudah kehabisan ide untuk membujuk gadis itu. Saat mengetahui Ravin bisa membujuk Serena entah kenapa ada suatu kepuasan dalam diri Vivy. Ia ingin sahabatnya itu mengalahkan rasa takutnya, ia ingin Serena tak dihantui lagi oleh ingatan buruk tentang pantai.

"Bagus deh dia bisa bujuk lo kepantai. Tar kalo udah gak takut lagi kita bisa main kepantai lagi." Vivy tersenyum hangat pada Serena lalu menyodorkan satu sendok acar yang sedang ia tumis, "cobain, udah pas belum rasanya?"

Serena memasukan sendok itu kedalam mulutnya dan mengatakan jika acar itu kurang garam lalu pergi kekamarnya untuk memakai baju.

~~◇●◇~~

Ravin memarkirkan mobilnya diparkiran yang tak jauh dari pantai, sebentar ia melirik Serena yang berusaha menenangkan degup jantung yang tak bisa ia kendalikan.

Otaknya terus mengingat bagaimana sulitnya ia meraih oksigen yang semakin menipis, dan bagaimana air laut terus masuk kedalam paru-parunya.

"Yuk keluar." satu suara berhasil menarik jiwa Serena dari rasa takut yang menghantui, ia melirik Ravin ragu dan mengaggukan kepala sebelum melihat laki-laki itu keluar untuk membukakannya pintu.

Serena memperhatikan uluran tangan Ravin sekilas sebelum menerima tangan besar itu. Ia genggam tangan itu seerat yang ia bisa, Serena tak ingin terpisah dari Ravin apapun yang terjadi.

Ravin tersenyum saat merasakan genggaman itu semakin erat, ia tahu saat ini Serena sedang berkelahi dengan dirinya sendiri sehingga tak ada niatan untuknya membuka suara lebih awal.

Ravin menghentikan langkahnya dan melepaskan genggaman Serena, ia duduk diatas pasir yang menyebar disepanjang pantai, "Ravin... serius gue gak tahan ada di disi!" suara itu terdengar lirih, dengan wajah cemas Serena berlindung dibalik tubuh Ravin yang dua kali lebih besar dari tubuhnya.

Ravin terkekeh mendengar suara itu, lantas menyuruh Serena duduk disampingnya, "Seren, lo liat deh keatas," Ravin menengadahkan kepalanya ke langit yang saat ini cuaca sedang mendukungnya. Serena mengikuti perintah Ravin, gadis itu melihat awan berwarna putih yang bergerombol seolah berlarian kesana kemari, "sekarang coba lo tutup mata."

Serena menurut, ia menutup matanya rapat membuat Ravin terkikik karna kelakuan gadis itu, "meremnya jangan kaya gitu.. sekarang gini, coba lo tarik nafas yang dalam terus keluarin perlahan. Bayangin sekarang lo ada didunia buatan lo sendiri, apa yang lo liat?"

Serena mengikuti perintah Ravin, ia menarik nafas beberapa kali sampai degup jantungnya sedikit lebih tenang dan tubuhnya tak setegang beberapa saat lalu.

Serena tak membayangkan dunia buatannya sendiri, ia hanya merasakan apa yang saat ini indranya tangkap. Semilir angin menerbangkan helaian rambut yang ia gerai, aroma segar bercampur bau garam seketika memenuhi paru-paru Serena, tak hanya itu tekstur pasir yang lembut dan hangat berhasil membuat Serena merasa nyaman.

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang