terlalu rumit

360 14 0
                                    

Olivia menginap di apartemen Serena, sementara Dareen dan Aksa pulang kerumah mereka dengan catatan Rialdi mengantar keduanya karna tak ingin hal yang sama terulang.

"Jadi... kapan si Shilla jujur kalo dia hamil?" Serena ingin tahu lebih jauh, ia berusaha mengoreknya dari Olivia.

"Tiga hari yang lalu, awalnya dia ngasih test pack cuman ke si Alana, tapi gue sama yang lain mergokin.. jadi.. ya, semuanya terbongkar hari itu juga. Dia bilang bakal langsung keluar dari sekolah minggu-minggu ini, dan.. mungkin itu bakal terjadi besok atau lusa." Olivia mulai menjelaskan apa yang terjadi padanya, "awalnya gue kira si Shilla cuman bercanda, tapi pas denger penjelasan dari si Lucas gue baru sadar kalo apa yang dibilangin si Shilla itu nyata,"

"Terus sekarang lo mau gimana?"

Olivia menggelengkan kepalanya beberapa kali, posisinya ia menghadap Serena, namun pandangan matanya lurus menatap keluar jendela yang memancarkan keindahan kota saat itu.

"Mungkin gue bakal keluar dari circle dan membenci semua orang yang dulu jadi sahabat gue, terutama.. si Shilla. Gue juga.."

"Liv, sorry gue ikut campur masalah lo, tapi kalo boleh gue ngasih saran.. lo gak boleh keluar dari circle lo," Serena menatap dalam wajah Olivia yang tak mengeluarkan ekspresi apapun, "gue tau circle lo absrud semua, tapi kalo gue liat-liat cuman mereka yang care sama lo, mereka selalu ada buat lo. Oke, mungkin gue belum lama kenal lo, tapi dari sekali liat aja gue tau mereka yang terbaik buat lo."

Serena mengeluarkan pendapatnya pada Olivia, ia memang tak begitu menyukai orang-orang rusuh seperti Olivia dan teman-temannya, tapi disisi lain ia juga melihat ada ketulusan dari persahabatan mereka. Sekarang ia tahu jika teman-teman Olivia tak seburuk yang ia bayangkan dahulu.

"Terus lo pikir, gue bisa satu tempat sama orang munafik kaya si Shilla?" Olivia mengeluarkan senyum misteriusnya, ia menatap Serena yang mengerutkan kening, tak menyangka Olivia akan mengatakan hal sekejam itu.

"Terus lo mau ninggalin semua temen yang udah setia sama lo, gitu?"

"Ya.. gimana lagi? Gue yakin mereka juga bakal bubar detik ini juga," lanjut Olivia, "hehe.. gue gak tau apa yang bakal gue lakuin kedepannya. Mungkin.. gue bakal kembali ke awal? Ikut pengajian, bantuin umma ngurus pesantren, dan.. dengerin ceramah abah tiap hari." terdengar nada sedih di kalimat itu, Serena tahu jika saat ini Olivia berusaha menahan air matanya.

Dengan perlahan Serena menarik Olivia kepelukannya, jika boleh jujur ia pun ikut kehilangan saat Olivia mengatakan jika ia akan meninggalkan teman-temannya.

"Apasih Ren.. gue gak secengeng itu, anjirr. Gue cuman bakal ninggalin temen-temen munafik gue doang.." air mata Olivia sudah berada dipelupuk mata, ia berusaha sekuat tenaga menahan butiran itu supaya tak keluar.

"Gak, gue gak bilang kalo lo cengeng. Gue cuman mau meluk lo doang. Gue cuman mau ngasih kehangatan buat lo."

Seketika kamar menjadi hening, hanya ada suara jam yang memenuhi ruangan dingin itu, Serena masih setia memeluk Olivia yang kini sudah menumpahkan air matanya kembali.

"Gak papa, gue tau lo kuat, gue tau lo bisa, tapi ada kalanya dimana lo gak bisa nahan semuanya sendiri. Lepasin semua, Liv, gue ada di sini," Serena mengusap punggung Olivia yang secara perlahan mulai bergetar.

"Lo masih punya gue, meski gue gak bakal sesetia temen-temen lo, tapi gue janji, gue bakal ada disaat lo butuh temen curhat atau sekedar temen jalan." Serena melepaskan pelukan, ia menatap Olivia yang masih berusaha menghentikan air matanya, "Gak papa, kalo mau nangis, nangis aja. Gue tau gimana perasaan lo saat ini, karna gue juga pernah berada diposisi lo. Rasanya sakit dan rasa itu gak bisa diungkapin lewat kata, kan?"

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang