Langkah Olivia terdengar begitu menggema di ruangan kedap suara itu, membuat Ravin bangkit dari duduknya dan berhadapan dengan gadis sembrono yang baru memasuki wilayahnya.
Ravin tak ingin Olivia ikut campur pada rencananya, bukan tanpa alasan, gadis itu tak bisa di prediksi dan akan membahayakan dirinya.
Sudut bibir Olivia terangkat kala netra berwarna coklat gelap itu melihat Vivy yang tak berdaya dan Serena yang tertunduk malu tanpa sehelai kainpun yang membalut tubuhnya.
"Bajingan, gue kira lo bakal ngurungin rencana gila ini setelah dapetin si Serena, tapi ternyata lo tetep nekat buat dapetin dia sepenuhnya,"
Mendengar kalimat yang keluar dari bibir Olivia membuat Ravin mengerutkan kening tak mengerti.
"Jangan anggap gue gak tau apa-apa, Vin. Dari awal gue tau rencana lo, bahkan cuman sekali liat aja gue tau kalo lo bener-bener terobsesi sama si Serena,"
"Terus kenapa lo gak sadarin si Serena kalo gue gak baik buat dia?
Raut wajah Olivia berubah dalam sekejap, lidahnya ia maninkan di dalam gusi. "Lo punya telinga gak sih?! Gue pikir lo bakal berubah pas udah dapetin apa yang lo mau!"
Olivia berjalan mendekati Serena, melepaskan jaket untuk menutupi tubuh polos dengan memar yang menghiasi di setiap bagian tubuh. Hatinya teriris kala netra mereka bersitatap, demi apapun Olivia tak akan memaafkan Ravin yang sudah membuat sahabatnya seperti ini!
Perlahan tubuh Serena ia dekap, tak terlalu erat memang, namun hal itu berhasil membuat Serena merasa aman.
"Gak papa, lo selamat Ren. Apapun yang terjadi gue bakal bawa lo pulang ke rumah." Gadis itu mengelus punggung Serena. "Bertahan bentar lagi, oke?"
Hanya anggukan yang menjawab Olivia membuat gadis itu kembali bangkit dan melangkah dengan menggusur tongkat bisbol yang ia bawa untuk berjaga-jaga.
Sementara di luar Rialdi sibuk menelpon Alois untuk mengabarkan jika ia telah menemukan Serena dan meminta pada sang ayah untuk membawa bantuan agar mereka bisa langsung meringkus Ravin.
Suara tembakan membuat Rialdi terdiam. Aliran darahnya terasa membeku, jantungnya seakan berhenti berdenyut dan nafasnya tercekat menebak siapa yang menjadi sasaran peluru itu.
Tanpa bisa di kendalikan tubuhnya berlari begitu saja, memasuki ruangan yang terlihat menakutkan jika di lihat dari luar.
Netra itu melebar melihat Zaki terkulai lemas dengan darah yang tak berhenti keluar dari dada kirinya. Kenapa Zaki ada di sini? Sejak kapan ia mengetahui jika Ravinlah dalang dari semua insiden yang terjadi?
Belum hilang rasa terkejutnya, ia melihat Vivy dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan, Serena yang.. histeris melihat Zaki dengan tubuh polos dan Ravin yang tak henti mendapat pukulan dari Olivia.
"Bajingan! Gue nanya lo tanpa ada kekerasan, bangsat! Kenapa lo tembak si Zaki?!" seolah hilang kendali, Olivia memukul Ravin membabi buta menggunakan tongkat bisbol milik Rialdi.
Suara tembakan kembali memenuhi ruangan pengap itu, kali ini tangan Olivia menjadi sasaran Ravin untuk menghentikan serangan yang gadis itu lakukan padanya.
Ravin meludahkan darah yang keluar dari mulut lantas bangkit untuk berhadapan kembali dengan Olivia.
Kekehan terdengar mengalun membuat Olivia kembali waspada. "Gini, gini. Oliv.. kalo lo masih sayang sama nyawa, lo bisa pergi sekarang juga, karena gue sama sekali gak ada urusan sama lo,"
Tubuh Olivia kembali tegak untuk menegaskan jika ia tak akan melarikan diri seperti seorang pengecut.
"Liv, di sini bukan tempat buat main-main. Gue gak ada urusan sama lo, jadi gue harap lo pergi sekarang juga!"
"Lo pikir gue bakal pergi gitu aja? Engga, anjing! Gue bakal pergi bawa si Serena sama si Vivy!"
"Mayat itu? Gue gak mau ada tubuh menjijikan itu di Villa ini!"
Tembakan kembali terdengar, namun kali ini bukan Ravin yang melakukannya, karena setelah suara itu mengudara Ravin terjatuh dengan tangan memegang pundak.
Olivia memutar tubuhnya untuk mendapati Rialdi yang menatap Ravin sarat akan amarah. Tanpa menunggu waktu Olivia segera mendekati laki-laki itu dan meninju perutnya begitu saja.
"Udah gue bilang, anjing! Lo diem di luar, jangan masuk apapun yang terjadi! Tugas lo di sini cuman ngasih tau papa tajir lo kalo si Serena udah ketemu!" teriakan Olivia membuat suasana semakin tegang, "urusan si bajingan itu biar gue yang tangani!"
"Maksud lo, gue harus diem aja pas denger suara tembakan, gitu?!" seolah tak ingin kalah, Rialdi mendebat Olivia yang amarahnya sudah di ujung tanduk itu.
"Si Zaki meregang nyawa di depan lo, dan lo bilang bakal bawa pulang si Serena sama si Vivy?" Kekehan terdengar begitu rendah. "Sekarang gue gak yakin lo bisa keluar dari sini atau enggak."
Melihat Olivia dan Rialdi yang berdebat membuat otak Ravin kembali bekerja, ini kesempatan yang bagus untuk menggertak kedua orang idiot yang berani masuk ke kandangnya.
Ravin bangkit, tangan besarnya mengambil pecahan botol yang tergeletak di samping jasad Zaki dan berjalan ke arah Vivy yang hanya menyaksikan mereka tanpa suara.
"Anan.. mulai sekarang gue harap lo gak gegabah," suara Ravin menghentikan perdebatan, laki-laki itu mencekik leher Vivy dengan pecahan kaca yang sudah berada di depan perut kekasih Rialdi itu.
Seketika ruangan menjadi hening, baik Olivia maupun Rialdi tak berkutik sedikitpun.
Senyum penuh muslihat memenuhi raut wajah Ravin, ia memang jenius, bisa menghentikan perdebatan sekaligus mengancam agar lawannya tak bisa berkutik.
Vivy berusaha lepas dari cengkraman Ravin, ia tak henti memukul tangan yang semakin mencekik lehernya. Namun Vivy sadar, semakin ia berontak Ravin semakin menekan pecahan botol itu ke perutnya.
Tuhan.. tolong! Ia tak ingin mati di tangan bajingan gila ini.. apapun itu tuhan, ia rela menukar seluruh takdirnya untuk bisa lepas dari belenggu ini.
"Ravin, gue harap lo gak gegabah, lepasin si Vivy dan kita ngobrol baik-baik, oke?" tawar Rialdi dengan suara bergetar.
"Simpen senjata lo!" teriak Ravin dituruti Rialdi, "Oliv, lo juga."
Dengan tak rela Olivia melepaskan tongkat bisbol yang sudah nyaman berada ditangannya, lantas gadis itu mengangkat kedua tangannya tanda ia tak membawa senjata apapun.
"Anan, sekarang telpon papa lo, bilang kalo lo gak pernah nemuin si Serena dan larang dia buat datang ke sini!"
Rialdi diam, ia tak akan melakukan keinginan Ravin kali ini.
"Lakuin sekarang atau pacar lo mati saat ini juga!"
Ravin tak main-main dengan ancamannya, ia benar-benar menekan pecahan kaca itu supaya menembus kulit perut Vivy.
Vivy menjerit kala benda tajam itu sedikit demi sedikit masuk keperutnya membuat Rialdi mau tak mau melakukan perintah Ravin.
"Oliv, mau kemana?" tegur Ravin saat netranya menangkap Olivia yang diam-diam mendekati Serena, "diam di sana kalo lo mau selamat."
Ravin benar-benar tak bercanda, satu tangannya melepaskan leher Vivy dan mengarahkan revolver miliknya pada Olivia.
"Emang dasar babi, lo!" desisnya, mengurungkan niat untuk menenangkan Serena yang masih histeris melihat jasad Zaki.
Suara Rialdi mengudara, memberikan informasi pada Alois jika ia belum menemukan Serena dan mencegah sang ayah untuk tidak datang ke tempat yang tadi ia sebutkan.
Telpon terputus membuat Vivy bernafas lega, pecahan botol yang Ravin tekankan kini terlepas begitu saja, tubuh ringkih itu terjerembap ke depan akibat di dorong oleh tangan besar milik Ravin.
~~Bersambung~~
Sumedang, 28 mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi
Teen Fiction(Belum diresvisi yaa^_^) harap maklum kalo ada typo atau penempatan tanda baca yang kurang tepat:) "Ser, aku mau kita udahan," "Kakak kamu hamil anak aku, Ser," "Maaf." Serena mematung mendengar itu, ia tak menyangka Natayla tega menikamnya dari be...