15. Permulaan

124 14 13
                                    

Jika hujan bisa turun tanpa diminta, maka aku juga bisa menahan rasa sakit sambil tertawa.

-Alisya

*****

"Dad did all this?"

Belum sampai Alisya menjawab apa yang terjadi, tubuhnya sudah tak bisa menopang berat badannya. Cewek itu langsung terjatuh pingsan di dalam pelukan Venus.

"Alisya!" Panggil Venus saat adiknya itu sudah jatuh kedalam pelukannya. Ia menagis saat itu juga. Rasanya, ia tak tega jika adik kesayangannya itu menjadi korban pelampiasan oleh ayah kandungnya sendiri. Cowok itu memeluk tubuh lemas Alisya dengan erat seolah-olah tak ingin kehilangan.

Dengan pelan, Venus membawa Alisya ke gendongannya. Ia membaringkan tubuh Alisya diatas kasur. Matanya menatap wajah penuh luka gadis itu. Air mata mengalir membasahi pipinya lalu jatuh tepat di dahi Alisya. Ya, Venus menangis begitu deras sekarang.

"Kakak sayang sama Lisya. Lisya kuat kan hadapan ini sama-sama?" Katanya sembari menghapus air mata di pipinya. Namun percuma, cairan bening itu kembali mengalir.

Tetiba saja, ia teringat akan luka yang berada di punggung Alisya. Tak mungkin jika dirinya yang mengobati. Sebetulnya, bisa saja ia menyuruh Bi Mina untuk membantu mengobati, tetapi ia tak ingin membuat wanita tak bersalah itu terjerat dalam lubang masalah. Karena ia yakin, jika dirinya meminta tolong kepada Bi Mina untuk mengobati luka Alisya, pasti Papanya akan marah.

Terdengar lenguhan pelan yang berasal dari bibir Alisya. Kedua matanya perlahan mulai membuka. Tangannya refleksi memegang kepalanya yang terasa pening.

"Kak," panggil Alisya pelan. Gadis itu berusaha duduk dibantu oleh Venus. Badannya masih terasa sangat lemas.

"Minum dulu," Venus menyodorkan segelas air putih ke arah Alisya. Namun, Alisya menolaknya. Gadis itu menggeleng pelan sembari memegang sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

"Lisya gak mau disini, Kak. Lisya gak mau disini," pinta Alisya kepada Venus. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.

Venus memegang kedua bahu Alisya. Ia mengerti apa yang dirasakan Alisya sekarang. Cowok itu menganggukkan kepalanya mengiyakan permintaan Alisya. Apapun akan ia lakukan agar adik kesayangannya itu tidak kenapa-napa.

"Ikut Kakak," Venus menggendong tubuh Alisya membawanya keluar kamar gadis itu. Cowok itu keluar lewat pintu belakang rumahnya untuk menghindari tamu-tamu yang masih berada di sana. Venus tahu jika hari ini Papanya akan mengadakan pesta pertunangan. Maka dari itu, ia berencana untuk tidak akan pulang ke rumah sebelum pesta tersebut selesai. Namun ia melupakan satu hal. Adiknya.

Dibelakang mereka berdua. Ada Bi Mina dan juga Pak Tayyib yang mengikutinya.

"Jangan kasih tau Papa tentang keberadaan Alisya," pinta Venus kepada pak Tayyib dan juga Bi Mina. Pasutri itu mengangguk menuruti perintah Venus. Keduanya sama-sama menatap prihatin ke arah Alisya yang sudah berada di dalam mobil.

"Rawat Non Lisya sampai sembuh ya, Den," pinta Bi Mina dengan mata berkaca-kaca hendak menangis. Disampingnya, ada Pak Tayyib yang sedari tadi menggelus pundak istrinya untuk memberi ketenangan.

Venus mengangguk lalu mulai menjalankan mobilnya meninggalkan pekarangan rumahnya yang masih di padati dengan mobil-mobil tamu undangan lainnya. Cowok itu mulai mengemudikan mobilnya menuju apartemen yang akan dirinya tempati sementara bersama Alisya.

Selama perjalanan, Alisya hanya diam sembari memandang kanan kiri jalanan yang ditanami pepohonan. Beberapa kali Venus mengajak adiknya berbicara, tetapi tak direspon olehnya. Venus mengerti, adiknya butuh waktu untuk menenangkan diri.

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang