"Kenapa harus diriku yang menampung semua beban berat ini?"
-Alisya Calista Graham
*****
"Pindah tugas?"
Otak encer Venus dipaksa bekerja untuk memikirkan semua hal yang menurutnya berhubungan satu sama lain. Mulai dari pesan singkat yang dirinya dapat barusan hingga surat keterangan pindah tugas. Rasanya, kedua hal tersebut sama-sama mengisyaratkan dirinya agar segera pergi meninggalkan kotanya.
"Kalau gue pindah, berarti gue ninggalin Alisya sama Papa sendirian lagi?" Tanya Venus pada dirinya sendiri.
"Anjir, pindah ke Surabaya!" Pekik Venus sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak menyangka jika harus pergi meninggalkan kota Jakarta menuju Surabaya dan juga meninggalkan adik kesayangannya demi kepentingan pekerjaan.
Venus melipat kertas tersebut seperti sebelumnya lalu menyimpannya didalam kantong jas dokternya. Mungkin, ia akan membicarakan hal ini dengan Raka terlebih dahulu.
Venus berjalan keluar dari ruangannya dengan langkah santai dan kedua tangan dimasukka kedalam saku jasnya. Tak membutuhkan waktu yang lama, Venus pun sampai di depan pintu ruang rawat Alisya. Dengan pelan, ia membuka pintu ruangan tersebut lalu masuk ke dalamnya.
"Hai, adiknya Kak Venus," sapa Venus sembari tersenyum ke arah Alisya yang tengah duduk di ranjang.
Alisya hanya membalasnya dengan senyum tipis diwajahnya. Raut wajahnya masih terlihat lesu dan pucat, seperti orang yang kekurangan darah. Tak ada gairah hidup sama sekali diwajahnya.
"Udah mendingan?" Tanya Venus sembari mengelus puncak kepala adiknya dengan penuh kasih sayang.
"Kak, mau pulang. Lisya takut dimarahin Papa. Lisya nggak mau dipukul Papa lagi," pintanya dengan tatapan memohon. Seketika ruangan tersebut berubah menjadi senyap. Teman-teman Alisya yang tadinya asyik bersenda gurau langsung diam tak bersuara mendengar perkataan Alisya barusan. Setakut itukan Alisya dengan Papanya?
"Nanti sore Lisya udah boleh pulang. Lisya nggak perlu takut Papa marah. Papa nggak bakal marahin Lisya,"
"Beneran?" Tanya Alisya memastikan.
Venus mengangguk bersemangat. Walaupun aslinya Alisya itu belum boleh pulang sore ini, tetapi ia sudah mempunyai pertimbangan yang baik. Ia bisa merawat Alisya dirumah.
"Beneran dong, sayang,"
Alisya tersenyum teramat tipis menanggapi Venus. Diantara perasaan senang bisa meninggalkan tempat yang paling dibencinya dan juga perasaan takut untuk pulang ke rumah. Bisa dipastikan ia tidak akan disambut baik oleh Papa dan anggota keluarga barunya jika pulang. Mungkin ia hanya akan dipojokkan terus menerus karena pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Entah mengapa, Darius itu sangat membenci jika Alisya pulang ke rumah dengan keadaan tidak baik-baik saja. Tetapi anehnya, lelaki tua itu juga sering melakukan kekerasan fisik kepadanya. Mungkin Papanya itu masih memegang prinsip hidupnya sejak dulu, "tidak ada yang boleh menyakiti anak perempuan satu-satunya kecuali dirinya sendiri".
"Kakak mau nggomong serius sama kalian semua," ujar Venus secara tiba-tiba.
"Nggomong apa, Kak?" Tanya Kevin mewakili mereka semua.
"Kakak barusan dapat pesan misterius. Isinya itu nyuruh Kakak buat pergi dari sini kalau mau Alisya selamat," ujarnya memberi tahu tentang isi pesan yang ia dapatkan tadi.
Pandangan mata mereka kini beralih menatap Alisya. Sedangkan yang ditatap justru hanya menghembuskan nafas gusar seolah-olah sudah lelah dengan hidupnya sendiri. Lihat saja, begitu banyak ancaman yang masuk kedalam hidupnya hingga membuat dirinya pun lelah dengan segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMA
Teen FictionIni tentang Alisya... Gadis cantik yang memegang jabatan menjadi waketos. Gadis cantik yang selalu bilang 'gapapa' didalam hidupnya. Gadis cantik yang selalu tersenyum dibalik luka-luka yang ditimbulkan oleh keluarganya. Gadis cantik yang selalu ber...