44. Mata, mulut, dan telinga

63 4 0
                                    

Mata bisa ditutup, mulut bisa dikunci, tetapi telinga masih bisa mendengar.

*****

Tujuh inti Airon menatap salah satu ratu mereka yang terbaring lemas diatas tempat tidur dengan pandangan khawatir. Diantara mereka semua, Raka-lah yang terlihat paling panik. Cowok itu terus berbisik di telinga kiri Alisya meminta gadis itu untuk cepat-cepat membuka matanya. Sudah hampir lima menit Alisya kehilangan kesadarannya, namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda jika gadis itu akan membuka mata.

"Gue udah telpon Kak Venus, dia lagi otw kesini," ujar Aldara memberi tahu teman-temannya. Beberapa saat yang lalu ia memang mengirimkan pesan kepada Venus mengenai keadaan Alisya saat ini.

"Sya, ayo bangun, buka matanya. Raka takut Lisya kenapa-napa," bisik Raka entah yang keberapa kalinya. Matanya menatap nanar ke wajah Alisya yang terlihat sangat kacau. Darah kering menempel di sekitar hidung dan juga kedua pipi gadis itu. Ia tak suka melihat wajah cantik pacarnya berubah menjadi seperti ini.

"Udah, Rak. Gue yakin Alisya cuma tidur doang. Biarin dia istirahat sebentar." Arrayan menepuk pundak ketuanya berharap menyalurkan kekuatan. Ia tahu seberapa khawatirnya Raka terhadap kondisi Alisya saat ini. Apalagi ini adalah akibat dari keteledoran dari mereka semua yang secara asal tidak mengunci pintu utama markas sehingga membuat orang asing yang berniat jahat masuk.

"Gue nggak bakalan tenang sebelum lihat Alisya buka matanya dalam kondisi baik-baik aja." Raka menggelengkan kepalanya dengan kedua tangan yang menggenggam erat tangan sang kekasih.

"Ini semua salah gue. Andai aja gue nggak lupa buat nggunci pintu utama markas kejadian ini nggak bakal terjadi," sesal Raka kemudian.

Semuanya sontak menggeleng tak setuju dengan ucapan Raka. "Ini bukan salah lo, Rak. Tapi salah kita semua. Kita semua salah karena gagal jagain ratu kita,"

Terjadi keheningan di dalam sana. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar ditelinga. Hingga kurang lebih sekitar sepuluh menit kemudian datanglah seorang laki-laki berumur sekitar 21 tahun dengan jubah dokter yang masih melekat di tubuhnya dan juga stetoskop yang menggantung di lehernya berlari cepat masuk ke dalam markas. Iya, laki-laki yang datang adalah Venus, kakak laki-laki Alisya.

"Alisya!" Venus berlari menghampiri Alisya yang masih memejamkan matanya di atas karpet berbulu yang berada di ruang tengah markas.

Stetoskop yang sedari tadi menggantung di lehernya kini ia gunakan untuk memeriksa detak jantung adiknya. Masih terdengar walaupun lemah. Setidaknya, ia masih bisa sedikit bernafas lega karena kondisi Alisya yang tidak terlalu parah.

"Gimana, Kak? Alisya nggak papa kan?" Tanya Raka langsung.

Venus sedikit tersenyum sebelum menjawab pertanyaan dari Raka. "Alisya nggak papa. Dia cuma tidur doang. Kakak yakin sebentar lagi dia bangun,"

"Ma-Mama... Mama... Lisya kangen..."

Suara itu membuat Venus dan anggota inti Airon gang menoleh ke Alisya yang masih memejamkan matanya. Semakin lama, semakin terdengar jelas suara isakannya. Air mata pun ikut jatuh membasahi kedua pipi gadis itu. Sepertinya Alisya sedang bermimpi hingga membuatnya menggigau dan menangis.

"Sayang," panggil Venus lembut seraya menepuk pipi Alisya.

Sayangnya, hal itu tak berpengaruh sedikitpun kepada Alisya. Gadis itu masih tetap merancau dan menyebut nama Mamanya berulang-ulang kali seolah-olah merasakan kehadiran sang Ibu disampingnya.

"Mama... Jangan pergi..."

"Sayang, ini Kakak, bukan Mama," ujar Venus dengan penuh kasih sayang. Ini bukan kali pertamanya Venus mendapati Alisya merancau tak jelas dalam tidurnya. "Bangun dulu, yuk. Buka matanya, biar tenang,"

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang