16. Khawatir

121 12 8
                                    

Dipaksa kuat oleh keadaan tapi selalu dihancurkan oleh kenyataan. Namun, begitulah kehidupanku.

-Alisya

*****

"Ini tidak akan membuatmu berakhir," ujarnya.

Grey menuangkan isi dari botol berwarna putih tersebut kedalam gelas berisi air minuman Alisya. Senyum miring tercetak jelas di sudut bibirnya.

Cekelek!

Secara tiba-tiba Venus masuk ke dalam kamar apartemen dengan sekantong keresek berwarna hitam di tangannya. Grey yang melihat kedatangan Venus secara tiba-tiba itupun langsung menyembunyikan botol ke belakang badannya. Bisa gagal rencananya jika Venus melihat botol yang dipegangnya sekarang.

"Kenapa?" Tanya Venus saat melihat gelagat aneh Grey.

"Gapapa," Grey hanya nyengir menampilkan puppy eyes-nya. Kedua tangannya masih berada di belakang badan untuk menyembunyikan botol berwarna putih tadi.

Venus menganggukkan kepalanya. Cowok itu kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil piring. Kesempatan itu digunakan Grey untuk memasukkan botol tadi ke dalam tas slempang miliknya. Meskipun semuanya tak berjalan sesuai rencana, tetapi ia cukup puas. Wanita muda itu mengulas senyum licik.

Tanpa ia sadari, di depan pintu apartemen sana. Seorang laki-laki berdiri sembari menguping setiap perkataan Grey. Tangannya di masukkan kedalam saku celana. Matanya menatap pintu apartemen yang tertutup rapat. Cowok itu melepas kacamata hitam yang digunakannya. Mata hitam legam persis seperti mata Venus dan Alisya terlihat jelas.

"I'm back,"

Perkataan dengan suara serak keluar dari mulutnya. Setelah mengatakannya, barulah ia mulai berjalan menyusuri lorong apartemen. Apa yang ia inginkan sudah terlaksana. Cowok itu sudah merekam semuanya.

Sedangkan, di dalam kamar apartemen sana. Sepasang kekasih itu sedang menunggu Alisya yang masih tertidur di atas kasur untuk bangun. Venus dan Grey terus memperhatikan Alisya yang terlelap karena pengaruh obat yang di suntikkan oleh Venus kepadanya. Mungkin, sebentar lagi pengaruh obatnya akan hilang.

"Emm... Gue pulang dulu ya, sayang. Temen gue tiba-tiba mau datang ke rumah," pamit Grey secara tiba-tiba.

Venus yang masih melamun itu tersadarkan karena guncangan yang diberikan Grey di bahunya. Terlalu memikirkan keadaan Alisya membuat dirinya sering melamun sekarang. Pikirannya sedang kacau sekarang. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Papanya. Tega menyakiti anak kandungnya sendiri.

"Ya," balas Venus singkat. Ia mengantarkan Gray sampai depan pintu apartemen.

"Bye, sayang," kata Grey dengan sangat manis di depan Venus. Ia mencium kedua pipi kekasihnya sebelum mulai berjalan menjauh dari hadapan Venus. Sembari berjalan mundur, wanita itu masih melambaikan tangan ke arahnya.

Venus menggelengkan kepalanya sembari tertawa kecil melihat tingkah Grey. Cowok itu mengusap pipinya yang baru saja di kecup oleh kekasihnya. Rona merah di pipinya semakin terlihat kentara. Hal ini dapat sedikit mengurangi beban yang bertumpu di bahunya. Cowok itupun kembali masuk ke dalam kamar apartemen untuk melihat kondisi Alisya sekarang.

Matanya beralih menatap setiap wajah Alisya yang dipenuhi oleh luka. Seragam sekolah milik Alisya yang terkotori oleh darah belum diganti. Anak rambut yang menutupi wajah Alisya ia sibak menggunakan kedua tangannya. Senyum hampa terukir di wajahnya.

"Kakak bangga sama kamu, Alisya. Tetap kuat hadapin ini sama-sama ya? Kakak bakal selalu ada buat adik kesayangannya," Ia mengecup kening Alisya lumayan lama. Kecupan hangat yang akan selalu ia berikan untuk Alisya.

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang