48. Damai

62 4 0
                                    

Janji untuk selalu menemaniku berdamai dengan keadaan?

*****

Gelap, suram, dan sepi. Mungkin itu adalah tiga kata yang dapat menggambarkan bagaimana suasana kamar tidur Alisya. Gelap karena tak ada pencahayaan yang masuk untuk menerangi. Suram karena terlihat seperti kamar-kamar yang tak berpenghuni. Sepi karena tak ada satupun suara yang terdengar sama sekali.

Namun untuk saat ini, masalah utamanya bukan kamar. Tetapi penghuni kamarnya. Seoraang gadis cantik yang selalu bersembunyi dibalik topeng tebalnya. Namun, kamar gelap nan besar ini adalah saksi dimana seseorang dapat melihat Alisya yang tengah melepas topeng tebal pengecutnya. Anggap saja gadis itu pengecut, sangat pengecut untuk menceritakan semuanya tentang dirinya kepada orang lain. Ia lebih memilih untuk menutupi semuanya dengan topeng tebal.

"Ambil semua kebahagiaan Lisya. Tinggalkan semua lukanya, Pa..."

Gadis itu tak terluka ditubuhnya, namun banyak sekali luka dihatinya. Sakit, seluruh hatinya sakit ketika mengingat kembali kepingan-kepingan memori masa lalunya. Masa-masa dimana ia masih bahagia bersama keluarganya, masa-masa dimana masalah belum mau berteman dengannya.

"Papa, Vana mau ke mall mau beli skincare. Temenin yuk, Pa,"

"Aduh, anak Papa udah gede aja nih. Yaudah yuk, Papa temenin. Sekalian sama Mama,"

"Makasih banyak, ya, Mas. Kamu emang paling bisa ngertiin aku sama Vana,"

"Sama-sama, sayang,"

Kedua telinga Alisya yang tidak bisa ia kendalikan mendengar semua percakapan tiga orang asing yang berada dirumahnya. Iri? Iya, ia sangat iri melihat kedekatan Papa kandungnya sediri dengan orang lain. Sedangkan dirinya yang disini sebagai apa? Mungkin mulai saat ini, ia harus sadar diri akan posisinya yang tak akan pernah dianggap oleh mereka.

"Kalau sekarang Lisya nyerah aja gimana?" Tanya gadis itu pada keheningan. "Buat kali ini, Lisya beneran nggak bisa. Lisya capek,"

Alisya yang tadinya terduduk diatas lantai perlahan berdiri. Gadis itu berjalan tertatih menuju nakas disamping tempat tidurnya dengan langkah pelan dan juga tangan yang memegang perutnya.

Tangannya membuka lanci nakas lalu mengeluarkan sebuah benda yang mungkin akan membuatnya tenang untuk sesaat. Cutter kecil yang selalu menjadi temanya saat masalah melanda. Bukan berarti ia tak punya tempat cerita. Namun dirinya saja yang terlalu menutup semua masalah hidupnya sampai-sampai banyak orang yang menganggapnya baik-baik saja.

Dengan tangan bergetar, Alisya mulai mengeluarkan isi dari cutter tersebut hingga memperlihatkan ujung runcing mata pisaunya. Senyum miring tersemat diujung bibirnya kala ia mulai menggoreskan cutter tersebut ke lengan kirinya. Helaan nafas lega keluar dari bibir mungil Alisya kala melihat lengannya yang sudah terlumiri oleh darah.

"Mungkin, urat nadinya sekalian,"

Setelah mengatakan itu, dalam waktu kurang dari dua menit. Pikirannya tetiba melayang mengigat kejadian dimana ia bermimpi bertemu dengan Mamanya dan wanita itu memberikan sebuah pesan kepadanya. Jika ia berniat untuk menyayat urat nadinya sekarang, itu berarti sama saja dirinya mengingkari janji. Walaupun ia hanya menyanggupi tanpa berjanji, tetapi ia bertekad untuk tetap melaksanakan kesanggupannya itu. Ia akan membawa Papanya kembali ke jalan kebaikan.

"Demi Mama, malaikat tanpa sayap yang pernah hadir dihidup Lisya. Lisya bakal coba untuk bangkit sekali lagi demi Mama," Alisya mencoba tersenyum mengigat wajah Mamanya didalam mimpi tersebut. "Bangkitnya sekali doang, ya, Ma?"

Sekali? Jika bangkitnya hanya sekali dan masalah yang datang berkali-kali. Bagaimana caranya? Bagaimana caranya ia akan tetap bertahan?

"Sekali aja, ya, Ma?"

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang