54. Pindah

78 5 1
                                    

Pagi hari menyapa, sinar terang dari sang surya perlahan terlihat, walaupun masih malu-malu. Burung-burung saling berkicauan satu sama lain. Hari Minggu yang seharusnya menjadi momen menyenangkan bagi setiap orang kali ini terasa berbeda bagi delapan inti anggota Airon gang. Kenapa? Karena Minggu pagi kali ini mereka harus bangun di sebuah ruangan bernuansa putih dengan bau obat-obatan khas orang sakit. Bisa dipastikan ini adalah salah satu ruang rawat rumah sakit.

Seorang gadis yang masih memejamkan matanya di atas ranjang menjadi objek pemandangan mereka semua. Alisya, gadis yang sejak semalam mereka khawatirkan keadaannya masih tertidur pulas. Entah pulas atau tidak, yang penting Alisya memejamkan matanya sekarang.

"Lo semua mau sarapan apa? Biar gue sama Dara beli dibawah," tanya Arrayan sembari melirik jam dinding diruangan tersebut yang sudah menunjukkan waktu untuk sarapan pagi.

"Apa aja deh, Yan. Yang penting ada isinya nih perut," sahut Galang sembari memegang perutnya persis seperti orang kelaparan. Memang betul itu kenyataannya. Biasanya pagi hari seperti ini ia sudah nangkring di ruang makan untuk menyantap sarapan bersama kedua orangtuanya, namun berbeda untuk pagi kali ini.

"Iya, Yan, apa aja deh terserah lo," timpal Valerio ikut-ikutan.

Arrayan berdiri dari duduknya lalu mengajak Aldara untuk turun ke bawah membeli sarapan. Tak lama setelah kepergian mereka berdua, datanglah seorang dokter laki-laki muda bersama dua orang suster yang berjalan mengekor di belakangnya sambil membawa nampan makanan.

Melihat kedatangan Venus dan dua suster tersebut, Raka yang tadinya duduk di kursi disamping brangkar tidur Alisya lantas berdiri. Tak banyak bicara, Venus segera mengecek keadaan Alisya setelah semalam melakukan bilas lambung. Beruntung kondisi Alisya pagi ini sudah banyak perubahan. Hal itu pun berhasil membuat Venus dapat sedikit bernafas lega.

"Kondisinya udah mulai baik. Proses bilas lambung yang kita lakukan tadi malam berhasil sempurna. Racun yang Alisya telan udah dinetralkan. Sekarang udah nggak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Semuanya sehat, kita tinggal nunggu Alisya benar-benar pulih," kata Venus setelah selesai mengecek kondisi Alisya. Ia melepas stetoskop dari telinganya lalu menggantungkannya di leher.

"Gue balik ke ruangan dulu. Kasih tahu gue kalau ada apa-apa. Paksa dia buat makan sarapannya kalau udah bangun nanti. Sekalian paksa dia buat minum obat," setelah mengatakan itu, barulah Venus keluar diikuti dua orang suster yang selalu menjadi ekornya disaat ia bekerja. Baru saja tiga langkah kakinya berjalan hendak meninggalkan ruangan tersebut, dering ponsel di saku jas dokternya menyita perhatian. Tanpa mihat siapa orang yang menelponnya terlebih dahulu, Venus langsung mengangkat dan meletakkan benda gepeng tersebut disamping telinga.

"Halo?"

"VENUS! KEMANA KAMU MEMBAWA ALISYA PERGI!?"

Suara bariton Darius benar-benar memekikkan telinga. Venus sedikit menjauhkan ponsel yang masih terhubung dengan Darius dari telinganya. Untung saja ia tidak mengaktifkan mode speaker, mungkin jika ia mengaktifkan mode speaker telinganya yang akan menjadi tumbal. Tiga detik ia memejamkan mata sambil menghela nafas panjang, barulah ia membuka mulut untuk menjawab pertanyaan yang lebih mengarah ke todongan.

"Alisya ngginep di apartemen Venus, Pa," alibinya.

"Mana ada!? Papa udah mengecek ke apartemen kamu kemarin malam. Tapi nggak ada tuh Alisya disana. Jadi, dimana kamu membawa Alisya pergi?" Kembali terulang pertanyaan sebelumnya. Namun bedanya kali ini adalah dengan nada suara yang lebih rendah dari sebelumnya.

"Apa kamu mau jadi pahlawan buat dia? Apa kamu mau jadi pelindung buat anak pembangkangan itu? Atau, kamu mau menyelamatkan dia dari Papa karena udah bikin kericuhan sama geng sialan itu!?"

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang