36. Lupa

78 5 4
                                    

Merelakan orang yang kita sayang adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.

-Sama-

*****

Aldara mengeluarkan sebungkus permen karet dari dalam kantong seragamnya. Ia membuka satu bungkus permen karet tersebut lalu memakannya. Mulutnya terus mengunyah permen karet tersebut hingga beberapa saat. Disebelahnya kini, ada Alisya yang sejak tadi hanya diam tak bersuara sambil menerawang jauh ke depan. Bahkan ketika Aldara menawari dirinya permen karet, cewek itupun hanya diam.

Angin sepoi-sepoi yang berhembus kencang menerpa kulit wajah kedua cewek itu membuat rambut mereka agak berantakan. Keduanya sama-sama memiliki rambut panjang sepunggung dan hanya dibedakan dengan poni. Jika model poni Aldara adalah fringe bangs maka Alisya tidak. Cewek itu tidak memiliki poni yang menutupi dahinya.

"Lo lagi ada masalah sama Raka?" Tanya Aldara memecah keheningan yang ada disana. Jujur saja, ia merasa tidak nyaman jika berada di situasi yang penuh dengan keheningan. Ia lebih suka suasana ramai yang memekikkan telinga dibandingkan harus berdiam seperti ini. Rasanya sangat canggung.

Alisya menoleh menatap wajah sahabatnya datar. Entah yang keberapa kalinya ia terlihat lemah di depan sahabatnya itu. Sejak awal mereka bertemu, mereka memang sering curhat satu sama lain. Mungkin ini yang membuat persahabatan mereka berdua terlihat erat. Alisya yang menceritakan keadaan keluarganya dan juga Aldara yang biasanya bercurhat tentang cintanya kepada Arrayan.

"Gue bingung, Dar," ujar Alisya memulai sesi percurhatan.

"Bingung kenapa?" Aldara bertanya dengan salah satu alis terangkat.

Tak ada sahutan dari Alisya. Gadis itu sedang berperang dingin dengan pikirannya sendiri. Apakah ia harus menceritakan semuanya kepada Aldara? Atau... ia harus memendamnya sendiri?

"Gue capek sekarang, Dar," Alisya meraup wajahnya kasar. Matanya mulai berkaca-kaca saat dirinya mulai menceritakan secara detail permasalahan yang membuat hubungan antara dirinya dan Raka merenggang. Termasuk kejadian Letta yang memeluk Raka secara tiba-tiba di ujung koridor tadi pagi.

Selang beberapa saat bercerita, hembusan nafas panjang menjadi penutup sesi percurhatan Alisya. Gadis itu merasa bebannya sedikit terangkat saat sedikit maslah hidupnya sudah ia ceritakan kepada seseorang. Biasanya, ia akan memendam semuanya sendirian hingga dirinya benar-benar muak dengan kehidupannya sendiri.

"Hidup gue drama banget, ya, Dar?" Tanya Alisya sambil tersenyum masam. Ia menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa yang sudah mulai usang. Kedua matanya masih menerawang jauh ke depan.

"Tunggu dulu, Sya. Cewek yang lo maksud itu Letta?" Tanya Aldara setengah tak paham dengan curhatan dari sahabatnya.

"Menurut lo sendiri gimana?" Alisya justru balik bertanya membuat Aldara kebingungann sendiri. Namun hatinya dan pikirannya sudah mantap jika cewek yang berani berbuat semena-mena terhadap Raka itu adalah Letta. Cewek mana lagi coba yang berani menggoda seorang cowok yang sudah mempunyai pacar kecuali Letta?

"Nggak bisa dibiarin, cewek gatel itu harus dikasih pelajaran!" Balas Aldara menggebu-gebu. Tak mungkin jika ia hanya diam saja saat sahabatnya harus disakiti oleh seseorang. Termasuk Raka, ia tak akan membiarkan Raka untuk kembali menyakiti Alisya untuk kedua kalinya. Ia juga akan memberikan pelajaran kepada Raka.

"Dar?" Panggil Alisya lagi.

"Hm?" Aldara menjawab lewat gumanan seadanya karena mulutnya masih sibuk membuat balon dari permen karet yang ia makan tadi.

"Lo lihat bucket bunga yang ada di laci mejanya Raka nggak?" Tanya Alisya lalu mencomot satu buah permen karet dari tangan Aldara.

Aldara terdiam sejenak. Beberapa saat ia mengingat barulah ingatan tentang bucket bunga itupun muncul di pikirannya. Ia menatap Alisya sebelum berbicara. "Menurut lo itu dari siapa?"

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang