11. Hujan

142 16 25
                                    

Ini menyakitkan tapi aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa dengan ini semua.

-Alisya

*****

Alisya berjalan dengan bahu yang mulai bergetar saat kaki jenjangnya sudah memasuki area pemakaman. Sejenak, ia berhenti berjalan sebelum memasuki lebih dalam area tersebut. Bahunya bergetar hebat dibarengi rasa sesak di dadanya. Sebuket bunga gladiol yang sengaja dibelinya sebelum kemari ia peluk dengan erat.

Dirinya memantapkan hatinya terlebih dahulu sebelum akhirnya kakinya kembali berjalan memasuki area pemakaman. Alisya berjongkok tepat di samping gundukan tanah yang tak lain dan tak bukan itu adalah makam wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan.

Gisella, mungkin jika wanita itu masih hidup, kehidupannya pasti akan jauh lebih baik dari hari ini.

Alisya menatap kosong ke arah batu nisan bertuliskan nama perempuan hebat yang pernah hadir di hidupnya. Sejak beberapa menit yang lalu, cewek itu hanya diam sembari menatap kosong gundukan tanah tersebut.

"Mama," panggil Alisya seolah-olah mengajak orang yang telah berpulang ke pangkuan tuhan berbicara. Suaranya terdengar parau seperti menahan tangis. Sudah lima tahun kepergian wanita itu, tetapi ia masih belum bisa melupakan kenangan demi kenangan bersamanya.

Suara gemuruh yang saling bersahutan seolah-olah dapat merasakan suasana hatinya saat ini. Dapat ia yakini, hujan sebentar lagi turun. Langit mulai gelap dan juga angin sepoi-sepoi yang berhembus kencang.

Gadis itu menyeka air mata yang hendak keluar. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Lisya bawain Mama bunga gladiol. Mama suka kan?" Tanyanya sembari meletakkan bunga tersebut di samping nisan.

"Dulu waktu Mama masih ada, Mama selalu bilang kalau suka banget sama bunga gladiol. Kata papa, bunga gladiol itu mirip Mama. Punya kekuatan, kemurahan hati, kejujuran. Itu persis banget sama sifat Mama. Gak salah kalau Papa bilang Mama itu bunga gladiol,"

"Tapi sekarang... Itu semua udah gak berlaku lagi, Ma. Papa sekarang udah gak sayang sama Lisya, Papa udah ngingkari janjinya. Papa bilang mama itu cinta satu-satunya dia. Tapi apa? Papa sekarang selingkuh. Bahkan didepan mata Lisya, Ma," kata Alisya panjang lebar.

Tangannya mengelus nisan berwarna putih yang mulai kusam warnanya. Dadanya terasa kian sesak saat mengingat trageti kematian Mamanya.

"Mama tau, peri cantik yang dulu Papa sama Mama jaga ini udah mulai lamah. Tapi mama gak perlu khawatir, Lisya kan Ultramen,"

Alisya mengukir senyum tipis. Gadis itu mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja. Dengan telaten kedua tangannya itu mulai mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh diatas gundukan tanah tersebut.

Cukup lama Alisya terdiam sebelum gadis itu mulai berbicara lagi. "Lisya sekarang udah jadi waketos, Ma. Sesuai sama keinginan Mama dulu. Tapi sayangnya, Mama pergi sebelum liat Lisya dilantik jadi waketos,"

Tangannya beralih mengambil sekantong keresek yang tadi dibawanya. Ia mengeluarkan sekeranjang bunga. Gadis itu menaburkan bunga di atas kuburan Mamanya. Setelah selesai, barulah ia menyiramkan sebotol air mineral yang segaja ia bawa.

Tak lama setelah itu, hujan turun dengan derasnya membasahi tubuhnya yang rapuh itu. Air mata yang membasahi pipinya perlahan tersamarkan oleh air hujan.

"Bunganya cantik, ya, Ma," ujar Alisya memandang bunga gladiol itu. Ia membenarkan posisi buket bunga tersebut tepat di samping nisan tersebut. Cewek itu belum ada niatan untuk pulang. Bahkan, baju yang dirinya gunakan sudah basah kuyup karena air hujan.

Alisya memandang sekeliling pemakaman yang terlihat sangat sepi. Hanya ada dirinya dan satu orang cowok yang berada agak jauh darinya yang sedang berziarah disana.

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang