2. Katanya Dia Penulis

1.6K 111 16
                                    


KENZIE mendribel bola basket, berlari lalu melompat melakukan lay out. Cewek-cewek yang menonton bersorak. Padahal Kenzie hanya sedang latihan dengan beberapa temannya. Ia melirik manusia-manusia di pinggir lapangan dengan sorot remeh.

Kenzie mendengkus. Mereka tidak ada bedanya dengan Belva.

"Lo kelihatan badmood banget, Ken." Teman Kenzie, Radit melompat dan merangkul leher Kenzie. Dia menoleh ke arah para cewek kemudian melambaikan tangan. "Fans lo makin banyak. Korban buli Belva makin nambah juga, dong."

"Jangan bahas dia. Bikin enek." Kenzie sensi. Dia menepis tangan Radit malas lalu melanjutkan permainannya. Radit menghela napas, berkacak pinggang.

"Lo sebenci itu sama Belva padahal dulunya nempel terus." Radit menggeleng heran.

Perkataannya menghentikan pergerakan Kenzie selama beberapa saat. Cowok itu menoleh. Memberi tatapan nanar dari kejauhan ke arah Radit yang juga diam. Untuk beberapa waktu, Kenzie juga baru ingat. Walau memang pernah bersahabat dengan Belva, tapi Kenzie seperti merasa ada yang aneh.

"Eh, Ken. Anyara noh." Radit membuyarkan lamunan Kenzie. Ia menggerakkan dagu ke arah koridor kelas sebelas. Kenzie memutar pandangan dan menemukan Anyara berjalan sambil membawa buku-buku.

"Ngomong-ngomong, lo tuh lumayan aneh bisa suka sama Anyara. Soalnya gue pikir selera cewek lo yang galak sama agresif kayak Belva."

Kenzie menatap Radit dengan pandangan tak terbaca. "Maksud lo?"

"Bukan apa-apa lho, Ken. Gue cuma ngomong doang." Radit mengangkat kedua tangannya, takut perkataannya salah diartikan dan malah membuat kadar sensi Kenzie bertambah. "Gue ngantin dulu."

Radit ngacir pergi. Meninggalkan Kenzie yang masih terpekur di tempat sambil bergulat dengan pikiran-pikirannya.

°°°
Antagonist

"Gue benci lo. Tapi, sesekali entah kenapa rasanya gue ngelakuin hal yang salah."

°°°

Belva baru saja keluar dari toilet. Ia berjalan menuju wastafel, mencuci tangan dan merapikan seragamnya. Cewek itu menatap pekat-lekat pantulan dirinya di cermin persegi panjang itu. Terdiam. Merenung selama beberapa saat.

"Apa yang udah gue lakuin, sih? Kenapa Kenzie sebenci itu sama gue?" Belva berdecak. Mengembuskan napas kasar, semakin sebal saja kala memorinya terlempar kejadian pagi tadi.

Kenzie memang tempramental. Sosok yang dingin, judes, mudah marah. Belva mengenalnya sejak kecil. Cowok yang selalu mengutamakan basket di atas segalanya. Seseorang yang selalu mematuhi perkataan sang papa dan selalu bermanja dengan sang mama. Belva bahkan mengenal baik kedua orang tua Kenzie.

Tapi, entah bagaimana. Entah karena alasan apa. Perlahan ada sudut kebencian yang kian merebak memenuhi hati Kenzie untuk Belva. Belva tidak ingat kapan tepatnya Kenzie membenci dirinya. Dan kedatangan Anyara yang menjadi pemicu menjauhnya Kenzie dari Belva. Semua itu terjadi tanpa prediksi.

Keluar dari toilet, berjalan menuju kelas dan mengambil tas. Cewek itu bersiap akan pulang. Sedang sekolah sudah sepi. Hanya Belva seorang menyusuri koridor di antara sinar mentari yang mulai mengoren. Belva menengok jam di tangan. Sudah terlalu sore untuk mampir ke rumah Fiara.

"Belva?"

Derap langkah Belva terhenti. Mendengar suara lirih dari belakangnya, cewek itu lantas memutar pandangan. Dia mengernyit mendapati sesosok cewek lain berdiri dengan baju piyama dan rambut diikatnya agak berantakan. Belva mengedik, memberi pandangan waspada.

"Lo ... orang gila nyasar, ya?"

Cewek itu menggeleng lugu. "Nama aku Raya. Aku yang nyiptain kamu."

Belva melempengkan ekspresi. "Yah, itu cukup jawab pertanyaan gue." Dia berbalik, nyaris kembali melanjutkan jalan sebelum tiba-tiba cewek berpiyama itu kembali berseru.

"Belvania Athena, aku serius! Kamu harus dengerin aku sebelum pergi."

Sesaat, Belva tertegun. Ia menolehkan kepala, kembali memandang cewek yang mulai mendekatinya dan berdiri semeter di depannya. Belva menatap lekat-lekat cewek aneh itu. Menyelisik hingga ke celah terkecil.

"Lo tahu nama gue?"

Cewek itu mengangguk dua kali bersemangat. "Aku tahu segalanya tentang kamu. Belvania Athena, kelas sebelas IPA 3, pembuli kelas kakap, suka Kenzie Gebra Allenson. Dan ..." dia menggantungkan kalimatnya, bibirnya tiba-tiba bergetar, lidahnya jadi kelu dalam sekejap.

Semakin curiga, Belva melangkah maju, memicingkan mata tajam, membuat cewek itu memundurkan badan seketika. "Lo mata-matain gue, ha? Mau lo apa?"

"Aku gak mata-matain kamu." Cewek itu menjeda sebentar, membasahi bibir bagian bawahnya yang kering, kedua tangannya bergerak gelisah di sisi tubuh. "Ini mungkin kedengeran gila. Tapi, aku yang nyiptain kamu. Aku yang nulis karakter kamu juga tokoh-tokoh lain di sini."

Belva terdiam.

"Lo ... jangan main-main sama gue." Belva mendesis, merasa cewek di depannya ini gila, tapi tidak mengerti bagaimana dia bisa mendapatkan informasi mengenai dirinya sedetail itu. Belva tidak boleh lengah. "Bilang. Lo mau apa mata-matain gue?"

"Aku gak mata-matain kamu, aku gak bohong. Aku yang nyiptain kamu. Juga Kenzie, Anyara, Fiara, semuanya yang ada di sini. Aku yang nulis."

Terdengar semakin memuakkan. Belva mendengus tertawa sinis. Ia mencerap lama cewek aneh di depannya ini, lalu berkata dingin, "Cari masalah sama gue itu sama aja bunuh diri, lho. Apalagi ... lo nyebut nama Kenzie. Lo mau lidah lo gue potong, ha?"

Raya buru-buru menggeleng, membungkam rapat-rapat mulutnya, menyorot horor lawan bicara. Melihat itu, Belva mengembuskan napas pelan dalam hati. Ia nyaris saja berbalik sebelum tiba-tiba perkataan Raya kembali menghentikan pergerakannya.

"Kamu bakal mati di tangan Kenzie."

Belva terperangah.

Perlahan, memutar kepala lagi-lagi melemparkan pandangan nanar pada Raya. Belva tidak mampu berkedip sekali pun. Tidak mampu mengerti apa maksud di balik perkataan cewek sinting itu. Raya maju selangkah, memberanikan diri menghadapi sosok beringas yang bisa saja menyerangnya kapan saja.

"Belva, ini demi kebaikan kamu. Jauhin Kenzie. Hidup kamu masih panjang. Kamu masih bisa ngerubah sifat jahat kamu."

Belva tidak bersuara.

Cewek di depannya ini sudah gila sungguhan sepertinya.

Merasa diberi kesempatan berbicara lagi, Raya melanjutkan, "Aku tahu kamu pasti bakal kesulitan percaya sama perkataan aku. Tapi, demi apa pun aku sama sekali gak bohong. Aku peringatin kamu dari awal supaya kamu baik-baik aja. Aku-"

"Lo pikir gue peduli?"

Raya terhenyak.

Belva melajutkan, "Siapa lo bisa suruh gue seenaknya? Dan lo bilang gue bakal mati di tangan Kenzie? Lo mau nakut-nakutin gue supaya gue bisa ngejauh dari Kenzie, tapi sayangnya gue gak sebego itu."

"Belva, percaya sama aku–"

"Yang perlu lo tahu." Lagi-lagi, Belva menyela dingin, mengangkat kaki dan mengambil langkah demi langkah secara perlahan, telunjuknya sedikit mendorong bahu Raya. "Mending lo enyah dari muka gue. Atau kalo enggak, gue gak bisa janji sepatu gue bakal nemplok ke muka jelek lo."

Setelah mengatakan dengan nada ancaman, Belva berbalik. Meninggalkan Raya di tempatnya berada. Cewek itu menghela napas menatap punggung Belva.

Tapi, tidak sampai lama, Belva berhenti melangkah. Raya tertegun. Meluruskan punggung bersiap ingin bersuara. Tapi, perkataan Belva lebih dulu membuatnya bungkam.

"Dan kalau pun emang suatu hari nanti gue bakal mati di tangan Kenzie, gue sama sekali gak bakal nyalahin dia." Belva menjeda lama. Menatap lurus dengan pandangan hampa. Sebelum akhirnya mengimbuhkan lirih, "Karena kalo menurut Kenzie gue gak layak hidup, buat apa juga gue masih di sini?"

***
Tinggalin jejak.

Terima kasih buat yang udah baca.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang