Menyebalkan.
Anyara tidak pernah merasa kesal pada siapa pun. Tapi, kali ini, entah kenapa ia ingin marah. Ia tidak menyangka Kenzie akan memperlakukannya begitu. Sesuatu dalam dadanya sakit dan meluap-luap. Mereka yang selalu dikira pacaran, mereka yang selalu dekat, dan digosipkan bersama, kini seketika lebur dengan tindakan yang cowok itu lakukan.
Bagaimana bisa Kenzie sejahat itu?
Padahal selama ini Anyara merasa hubungan mereka baik-baik saja. Mereka tidak dalam pertengkaran atau perdebatan. Kenzie sekarang seolah bukan Kenzie yang menjadi penjaganya.
Pembulian Anyara makin intens. Kebencian padanya semakin ditunjukkan secara terang-terangan. Semua itu perlahan kembali terulang padanya seperti saat ia tidak mengenal Kenzie.
Anyara ingin membenci Kenzie. Tapi, hatinya malah semakin sakit. Hanya Kenzie yang bisa menjaganya sebaik itu. Hanya Kenzie yang bisa menerima dan mencintai Anyara sebanyak itu. Makanya ... Anyara sampai saat ini berharap Kenzie yang begitu akan kembali padanya. Mencintainya dan menjadi sosok satu-satunya pelindung untuk Anyara.
Memikirkan itu Anyara, menghela napas panjang. Ia mendongak, menatap langit yang mulai mendung dan berteriak dengan guntur-gunturnya. Ia masih di tepi trotoar. Menyusuri jalan pulang sendirian dengan baju basah dari atas kepala hingga kaki. Rambutnya lepek. Wajahnya setengah pucat dan bibirnya agak kering. Ia masih beruntung karena memakai almamater biru gelapnya. Tapi, meski begitu, mau dilihat dari sudut pandang mana pun, Anyara benar-benar kelihatan menyedihkan.
Sampai ia nyaris berbelok ke arah gang, seseorang berhenti di depannya. Mengalihkan seluruh atensi Anyara. Cewek itu menoleh, menatap bertanya pada cowok berhelm yang memarkirkan motor di sebelah. Ia menarik helm dadi kepalanya dan sedetik itu Anyara menahan napasnya sesaat.
"Naik."
Anyara hanya menatap Jevias lama. Lalu menggelengkan kepala. Ia sudah terlalu lelah hari ini. Ia tidak mau berurusan dengan Jevias. Mungkin saja Kenzie memang menjauhi karena cowok ini.
"Anyara, naik. Atau gue paksa lo pake cara gue." Jevias berujar dingin. Tidak mau mendengar bantahan lagi sedikit pun. Ia menatap datar. Sampai akhirnya Anyara melangkah mendekat padanya.
"Aku basah kuyup."
"Gue gak peduli. Na–ik–se–ka–rang." Lagi-lagi Jevias tidak menerima penolakan halus Anyara. Riak wajahnya semakin terlihat keras.
"Aku sebentar lagi sampe. Aku lagi capek banget hari ini. Jadi, aku minta jangan ganggu ak–"
"Gue cuma mau lo duduk di belakang gue atau gue mesti pake cara kasar gue?" Jevias menelengkan kepala, menatap dengan sorot lugu namun di sisi lain mengintimidasi. Anyara menyerah. Akhirnya, ia mengikuti perintah cowok itu. Duduk di belakangnya dan berpegangan pada bagian belakang motor.
"Siapa yang buat lo kayak gini?" tanya Jevias. Ia memakai helm dan mulai menyalakan mesin. Ia tidak akan melajukan motornya sebelum Anyara menjawab.
"Kenzie," cewek itu bergumam lirih, namun Jevias mendengarnya jernih, "Kenzie ... yang nyakitin aku."
Jevias diam sesaat. Ia nyaris melajukan motornya, tapi perkataan Anyara membuatnya mengurungkan niat.
"Jevias, jangan bawa aku pulang dulu."
"Hm." Cowok itu sedikit menolehkan kepala ke belakang. "Berarti ... lo ikut ke mana gue pergi?"
°°°
Antagonist
"Hati-hati sama perasaan lo, Bunny. Gak semuanya senyata itu."
°°°
Jevias pada akhirnya tidak membawa Anyara pulang ke rumahnya. Ia menghentikan motornya di depan markas. Membawa cewek rapuh itu masuk ke dalam dan memberinya jaket miliknya. Jevias juga memberikan secangkir teh hangat. Meletakkanya di meja dan ikut duduk di sofa tunggal sedangkan Anyara melamun di sofa lain.
"Minum." Jevias menyentak Anyara dari lamunannya. Cewek itu menatapnya sebentar lalu menuruti perkataan Jevias. Jevias bersandar. Menyedekapkan kedua tangan, mengamati Anyara lekat-lekat. "Lo mau gue apain si Bajingan?"
Menaruh gelas kembali di atas meja, Anyara kemudian menjawab, "Jangan macem-macem sama Kenzie."
Alis Jevias terangkat sebelah. Lalu ia mendengkus tertawa. "Setelah yang dia lakuin ke elo? Bego juga ada batasnya, Bunny."
Tersenyum kecil, Anyara kembali membalas, "Cuma Kenzie satu-satunya orang yang selalu jagain aku. Makanya ... buat sekedar ngebenci dia, itu malah bikin aku tambah sakit."
Tanpa sadar, kepala Jevias meneleng. Ia menyorot dingin. Sama sekali tidak paham dengan cara pikir cewek ini. Anyara bukan cewek lugu yang menyukai Kenzie. Dari tatapan matanya kini, dari kepalan tangan yang ia lihat penuh hasrat, Jevias dibuat menyeringai.
"Cuma Kenzie yang aku punya di saat aku dibuang sama semua orang. Cuma karena Kenzie, aku bisa ngelalui semua ini." Anyara mengerlingkan mata pada Jevias, lalu tersenyum dan meneruskan, "Makanya ... aku gak mau ngelepasin cowok yang paling aku cinta."
"Lo ... bisa-bisa malah jadiin Kenzie obsesi lo aja, lho, Bunny." Jevias menyedekapkan tangan. "Nolak fakta kalau sebenernya dari awal Kenzie bukan punya lo itu bener-bener tindakan paling menyedihkan dari Anyara Karani."
Anyara diam terhenyak.
"Gue gak tahu gimana Kenzie bisa ngejar-ngejar lo padahal yang gue tahu Belva itu segalanya buat dia." Jevias mengendikkan bahu. "Gue bener-bener gak paham kenapa dia bisa ninggalin cewek yang selalu mati-matian dia jagain."
"Aku tulus sama Kenzie. Bukan gak heran kalau Kenzie juga cinta sama ak–"
"Bunny," Jevias menyela, menegakkan punggung, menunpukkan kedua sikunya di atas lutut dan memandang dengan sorot elang, "Dunia gak sesepele itu cuma buat ngurusin cinta-cintaan. Pertama kali gue ketemu lo, bukan sikap kayak gini yang gue liat."
Anyara lagi-lagi dibuat diam. Bahkan napasnya tertahan selama beberapa saat ketika Jevias kembali meneruskan kalimatnya.
"Yah, meski gue juga gak paham kenapa gue selalu ngeliat lo waktu itu. Sesekali gue ngerasa lo juga obsesi gue." Jevias memang terobsesi pada Anyara. Pada semua hal yang Kenzie dapat dalam hidupnya. Sejak dulu ia memang tidak pernah berubah.
Seolah di–setting. Jevias seakan tidak bisa menenangkan diri tiap kali berhadapan dengan Kenzie.
"Dari awal, sih, gue emang ditulis cuma sebagai cowok sampah. Tapi, alasan gue manggil lo Bunny, karena lo kelihatan kayak kelinci lugu. Jadi, mending jaga baik-baik sikap manis lo yang satu itu."
"Apa itu bakal ngebuat Kenzie tetep sama aku?" Anyara masih keras kepala. Ia tidak mendengarkan maksud Jevias yang sebenarnya. Lebih tepatnya ... Anyara tidak mau dengar sedikit pun.
Cewek itu menatap Jevias dengan sorot tenang. Pandangan yang lebih mengintimidasi dari sebelumnya. "Aku gak mau terus-terusan ngalah. Aku udah terlalu capek karena terus diteken buat ngalah supaya bisa hidup tenang. Tapi, beda. Kalau Kenzie ... dia satu-satunya orang yang selalu ada buat aku. Makanya aku gak akan nyerah sama dia."
"Hah, Bunny, lo makin keras kepala. Itu gak baik, oke?" Jevias menghela napas. Ia mendengkus kecil sambil tersenyum miring. "Lagian, makin ke sini ... lo makin ngambis buat ngedapetin cowok semacam dia, ya?"
Cowok sampah kayak dia ... bener-bener bikin semua cewek jadi bego.
***
Haaii! Udah lama gak ketemu Readers lagi T_T
Padahal udah ada ide, tapi ini alur entah kenapa malah makin ngabur.Makasiih buat yang udah baca sejauh ini!
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Antagonist [END]
Teen FictionBelvania benar-benar terkejut ketika seorang cewek bernama Raya datang, memintanya untuk berhenti mencintai Kenzie atau ia akan mati. Awalnya Belva tidak mau mengindahkan sama sekali. Karena mau seburuk apapun perlakuan Kenzie padanya, Belva tidak b...