58. Luka Cerita Lama dan Saat ini

358 33 0
                                    


Terdengar dentingan pisau dilempar di atas lantai. Deru hela napas berat pemilik nama Jevias itu mengisi kehingan dalam gelap yang mengurung sebagian tempat itu. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat dan menarik sudut bibir pada sosok lain yang menginjakkan kaki selain mereka sambil memiringkan kepala.

"Yo, Kenzie. Gue pikir bakal lebih lama. Tapi, kayaknya pukulan gue gak terlalu kenceng, ya."

Belva spontan memutar pandangan kala Jevias memanggil nama Kenzie. Seperkian detik, pupilnya melebar mendapati cowok itu berdiri beberapa meter dari tempatnya. Belva hendak mendekat, tapi kaki-kakinya terlalu lemah untuk melangkah. Ia nyaris jatuh sebelum akhirnya Kenzie berlari lebih dulu dan menangkap tubuh kecil itu.

"Kenzie," Belva bergumam, tangannya mencengkeram lengan cowok itu erat-erat, matanya berbinar lebar, "lo gak apa-apa?"

Pertanyaan macam apa itu?

Kenzie bahkan melihat Belva jauh lebih terluka darinya. Sudut bibir cewek itu berdarah, bajunya kotor dan rambutnya tergerai berantakan. Belum lagi ... tangannya berdarah. Luka yang sama dengan malam itu.

Belva menyentuh kepala Kenzie dengan tangannya yang berdarah. Ia melihat sedikit jejak darah di balik rambut yang menutup pelipisnya. "Kepala lo pasti sakit. Ayo, kita pergi sekarang, Ken."

Perkataan Belva tidak didengar. Pikiran Kenzie terlalu berkabut. Tanpa berpikir, kakinya beralih ke arah lain. Tangannya terkepal, menumbukkan tinju mentah ke wajah Jevias. Sinar matanya kosong. Dalam sekali serangan, Kenzie sudah menduduki tubuh Jevias dan memberikan bogeman terkuatanya ke wajah cowok itu.

Sampai tangannya berlumuran darah Jevias. Sampai wajah cowok di bawahnya ini babak belur hingga tak bisa dikenali lagi.

Walau begitu, Jevias tidak melawan. Tidak memberontak di bawah Kenzie. Ia meletakkan tangannya merentang di atas lantai berdebu, membiarkan cowok yang mengamuk itu menghabisinya. Ia tidak bisa berpikir setelah mendengar ucapan Belva sebelum Kenzie datang.

"Kalau gue jadi Lily yang masih hidup sampe sekarang, gue bakal minta lo main sama gue. Cuma sama gue. Sampe lo lupa sama kesakitan lo."

"Kakak, Kakak sedih, ya? Jangan sedih. Kan, ada Lily. Kakak gak butuh siapa pun. Kakak sama Lily aja selamanya."

Dasar cewek manja dan cengeng. Jevias lagi-lagi dibuat tertegun oleh perkataan Belva yang mirip dengan perkataan Lily bertahun-tahun yang lalu.

Jevias benci merasakan perasaan ini. Sesak dan menyakitkan. Tapi, Jevias tidak tahu mesti apa untuk melenyapkan selimut gusar yang menutup relungnya.

"Jevias, kalau mau cari mati, tinggal telepon gue, kan, bisa. Gak usah pake segala nyakitin cewek gue." Kenzie menatap lugu, lalu menghantamkan tinju terakhirnya untuk Jevias.

Melihat Jevias cuma memandang lempeng dan tersenyum kernyih, Kenzie menahan kalimat dalam tenggorokannya. "Bravo, Kenzie. Lo ... bener-bener kayak pemain utama di sini sedangkan gue villain-nya."

Kenzie hanya diam.

Ia tahu sebenci apa Jevias padanya. Kenzie ingin menghabisi cowok ini, tapi Belva menarik jaketnya. Memutar pandangan, Kezie mendapati Belva menatapnya memohon dan menggeleng pelan.

"Gue mau pulang." Belva berujar memelas. Ia tidak ingin ada keributan apa pun lagi. Jevias tengah gila. Kalau Kenzie juga ikutan tidak waras, Belva yakin ia tidak bisa melakukan apa-apa andai mereka berkelahi brutal. Apalagi tubuhnya sakit semua sampai tidak bisa bergerak banyak.

Karena lebih mengkhawatirkan Belva, Kenzie akhirnya beranjak dari tubuh Jevias. Ia berdiri di depan Belva, meraih tangan yang terluka itu dan memandangnya pedih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang