18. Pada Bab Sembilan

746 63 0
                                    


HATI Raya tidak tenang. Dia sendirian di kamar Belva, mondar-mandir sambil menggigiti ibu jarinya. Raya tidak tahu apa yang terjadi padanya. Sejak tadi Raya ingin menyusul Belva, memastikan cewek itu baik-baik saja di rumah Kenzie. Tapi, sejak tadi juga Raya tidak bisa keluar dari rumah Raya. Entah bagaimana Raya yang biasa tembus sana-sini tidak lagi bisa melakukan hal yang sama.

Raya khawatir. Ia tidak bisa diam saja tapi juga tidak tahu mesti bagaimana. Raya berusaha membuka pintu atau jendela tapi semua sia-sia. Cewek itu menengok jam di nakas, sudah lebih pukul tujuh malam. Raya yakin sebentar lagi Belva akan kena masalah.

Mendesah gusar, Raya duduk di tepi kasur sambil mengusap wajahnya frustrasi. Dia menjilati bibirnya yang kering. Harusnya Raya memberitahu Belva dulu. Harusnya Raya memperingati Belva.

"Bab sembilan ...," gumamnya, " ... harusnya aku kasih tahu kamu kejadian bab sembilan."

°°°
Antagonist

"Ini hidup gue. Kenapa harus dikendaliin orang lain, Bangsat!"

°°°

Belva tidak nafsu makan. Sedari tadi ia cuma mencecap ujung sendok sambil melempar pandangan elang pada Anyara. Cewek yang tampak akrab dengan keluarga Kenzie padahal ini baru pertama kali ia di sini. Laura dan Gian bahkan tampak ramah dan riang dengan eksistensi Anyara. Apalagi Kenzie.

Menyebalkan. Belva seperti tak kasat mata di sini. Sesaat ia menjadi asing. Walau Laura sesekali menyeretnya dalam topik pembicaraan, Belva pada akhirnya tidak sedikit pun berbaur bersama mereka.

Yah, Belva tidak mau merusak suasana yang sudah memuakkan ini menjadi lebih menjengkelkan. Semenjak tahu bahwa ini adalah dunia novel, Belva berusaha untuk hati-hati dalam melangkah. Kenzie memang miliknya. Tapi, kalau pada akhirnya Belva tetap mati semua tetap akan sia-sia. Makanya, Belva tidak mau sampai salah langkah.

"Belva, kamu mau nambah?" Laura menoleh, bertanya pada Belva yang terdiam tanpa kedip. Ia melihat ke arah piring cewek di sampingnya, lalu terpekur. "Kok masih belum selesai? Belva, kamu kenapa? Ada yang aneh sama masakan Tante?"

Belva menggeleng, menegakkan punggung ketika ia jadi pusat atensi. Belva mengerling tajam pada Anyara. "Cuma ngerasa hawanya agak beda, Tan. Gak enak."

Gian yang diam melirik Belva dan Anyara bergantian. Anyara tampak tidak nyaman. Terlihat dari gerakan tangannya yang melemah. Ah, Gian jelas paham. Tapi, Gian juga tidak ingin ada pertengkaran di sini.

"Om ngerasa baik-baik aja padahal." Dia membuka suara. Belva menurunkan pandangannya. Sudah selesai dengan makannya, Gian memilih menelungkupkan sendok dan garpunya. Ia mulai bangkit dari duduk. "Om ke atas dulu, ya. Belva kamu nanti nginep di sini dulu aja. Papa kamu udah bilang sama Om tadi."

Belva mengangguk bersemangat. Sedangkan Kenzie melotot tidak terima.

"Apaan, Pa?! Kenapa sampe nginep segala?" protes cowok itu. Gian menggerakkan jarinya sambil bergeleng-geleng kepala.

"Kenzie, gak boleh gitu. Papanya Belva lagi lembur. Tahu sendiri, kan, akhir-akhir ini suka ada maling?"

Kenzie mendengkus.

"Udah, udah, ih. Kalian ini kenapa, sih, rame banget?" Laura mengibas-ngibaskan tangan. Gian hanya mengendikkan bahu sebelum akhirnya berbalik badan dan meninggalkan ruangan. Laura menghela napas. Ia menatap Anyara kemudian. "Anyara, maaf, ya. Mereka emang berisik. Bapak anak emang sama aja."

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang