47. Kesedihan dan Harapan

218 30 0
                                    


Raya benar-benar jahat.

Bukan cuma Belva yang dia takdirkan mati. Tapi, Jevias. Cowok yang sejak awal tidak pernah ia gariskan sebagai manusia normal. Sosok yang selalu dilempar ke kubangan kegelapan dan penuh duri hingga ia hanya bisa memandang benci dunia.

Bagaimana bisa Raya melupakan Jevias?

Dia terlalu cacat. Dia tidak pernah Raya tuliskan sebagai sosok yang berakhir bahagia bahkan setelah dibuang orang tua dan kehilangan adiknya.

Menundukkan kepala dalam-dalam, duduk di meja makan yang sudah dibereskan, Raya menenggelamkan wajah di atas lipatan tangan dan memejamkan kedua matanya. Bajingan. Raya ... benar-benar penulis bajingan. Ia bahkan sempat bahkan karena telah membuat akhir cerita dengan banyak orang menderita di atas kebahagiaan pemain utama.

"Hah, aku pengen nulis ulang semuanya dari awal." Raya bergumam lemas. Tapi, ia menggeleng kemudian. Lalu memutar kepala hingga tidur di atas meja makan. "Enggak. Aku berharap aku gak pernah nulis cerita itu. Andai aku gak nulis, Belva gak akan mati. Kenzie gak akan benci Belva. Jevias gak akan dibuang orang tuanya. Anyara gak akan dibuat bergantung sama Kenzie."

Raya menelan saliva susah payah."Semuanya salah aku."

Kursi berderit. Atensi Raya teralihkan sesaat. Ia menegakkan punggung dan meluruakan penglihatan. Seperkian detik, pupil-pupilnya tampak lebih besar. Tubuhnya membeku dan kedua bibirnya membisu.

"Ayna, andai kamu di sini." Dirga bergumam. Di depannya sebuah album foto yang kelihatan sudah berusia lama dia buka. Pandangan lembut maniknya tidak berpindah dari gambar sosok yang menggendong Belva saat bayi. "Belva udah sebesar ini. Kamu pasti seneng banget ngeluat Belva sama Kenzie makin lengket."

Dirga tersenyum tipis.

Raya ... rasanya mau menangis. Ia duduk di depan pria yang paling dia cintai selama ia hidup. Mendengar kalimat pilu yang keluar dari bibirnya membuat sesuatu dalam dada Raya berdesakkan hingga sakit.

Dirga benar-benar mencintai Ayna. Dan gara-gara Raya, dia harus merasakan hal sesakit ini. Gara-gara tulisannya kakaknya mati. Semuanya karena Raya.

Andai saja Raya dulu memotong tangannya hingga ia tidak perlu menuliskan cerita yang entah bagaimana bisa menjadi alur pada kehidupan keluarganya. Raya benar-benar berharap kedua tangannya tidak pernah menuliskan cerita yang membuat semua orang menderita seperti ini.

"Aku minta maaf." Raya bergumam pelan. Ia menyorot Dirga lekat-lekat dengan mata berembun. Kedua tangannya terkepal di atas meja. "Aku ... bener-bener nyesel. Aku minta maaf karena ngehancurin kehidupan kalian."

Raya terisak.

Ia ... ingin mati saja.

°°°

Antagonist

"Gue harap gue gak akan pernah ngelupain lo."

°°°

"Lo serius ngajak gue ke sini?"

Belva menahan langkah Kenzie. Cewek dengan rambut dicepol tinggi itu sedikit mendongak demi bersirobok dengan kelereng-kelereng gelap Kenzie. Menaikkan sebelah alis, Kenzie menoleh ke arah gedung mall di depannya dan kembali melihat ke arah Belva.

"Salah?"

"Gue gak suka rame kayak gini. Enggap." Belva merengek. Baginya berdiri di antara puluhan manusia membuatnya capek dan cepat gerah.

"Jadi, lo maunya berduaan doang sama gue?"

Belva menabok lengan Kenzie seraya memelototinya horor. Cowok ini makin lama makin berbahaya. Mulutnya itu lho.

"Jangan ngomong yang aneh-aneh! Gue pukul lagi mau?"

Kenzie terkekeh. Ia mencubit sebelah pipi Belva. "Gue kan cuma bercanda, Princess."

Ini kenapa, sih, omongan Kenzie semakin lama semakin manis? Rasanya Belva seperti menemukan Kenzie yang lain. Walau saat masa kecil cowok ini juga sesekali memanggilnya begitu, tapi karena selama ini Kenzie cuma memasang tampang judesnya apalagi semenjak mengenal Anyara, Belva masih belum kembali terbiasa.

"Ya, udah lo maunya ke mana? Biar gue anter."

"Ayo, beli itu." Belva menunjuk pedagang kaki lima di tepi trotoar. Tepatnya di bawah pohon dengan motor dagangnya. Kenzie mengernyitkan dahi.

"Kita tinggal masuk bisa beli es krim. Mau yang di luar aja?" Kenzie bertanya.

"Iya. Yang murah." Belva hanya mengangguk. Lalu berlari lebih dulu, menjauh dari area halaman mall, dan meninggalkan Kenzie seenak jidat.

Kenzie hanya menghela napas. Cewek ini memang tidak bisa ia mengerti. Ah, tapi sepertinya hanya Kenzie yang melupakan kebiasaan Belva. Kenzie yang selama ini membelakangi Belva dan menutup akses cewek itu di hidupnya.

Yang sebenarnya adalah Kenzie yang melupakan Belva di saat cewek itu tidak pernah berubah sedikit pun.

Mengejar Belva, Kenzie segera membayar ketika Belva menerima es krim dengan dua tangannya. Cewek itu menoleh dan memberikan es krim cokelat di tangan kanannya pada Kenzie. Tapi, bukannya menerima, Kenzie cuma mengigitnya hingga bagian corn.

"Pegang." Belva menyerahkan lagi. "Lo mau disuapin gak kayak gini caranya."

"Terus gimana?"

"Ah, pokoknya ini pegang dulu. Gue mau makan. Masa pake tangan kiri? Nanti gue kualat." Belva merengek lagi. Kenzie kembali dibuat tertawa gemas. Ia segera mengambil es krim miliknya dan menoyor dahi Belva hingga cewek itu mengaduh kaget. "Ih, sakit!"

Mereka kemudian duduk di bangku tidak jauh dari pedagang kaki lima es krim itu. Di bawah pohon. Memakan es krim dengan hikmat tanpa suara. Yah, itu hanya berlaku untuk Belva. Sedangkan Kenzie cuma diam menyorot dalam-dalam wajah cewek di sampingnya dan membiarkan es krimnya menetes sia-sia.

"Bel," panggil Kenzie, Bwlva hanya bergumam sebagai jawaban, "sejak kapan gue benci lo?"

"Entah. Gue juga gak inget kapan pastinya." Belva hanya membalas enteng. Ia menoleh kemudian kala merasakan hawa udara agak memberat. Didapatinya cowok itu menatapnya tanpa berkedip. "Kenapa?"

Menggeleng, Kenzie cuma menyunggingkan senyum kecil. "Enggak. Gue ngerasa waktu gue buat ngebenci lo kebuang sia-sia. Gimana bisa gue benci sama cewek yang paling gue cintain sejak kecil?"

Belva tergugu.

"Bukan salah lo," katanya. Belva memasang air wajah serius dan meneruskan, "gue juga agak gila kemaren karena sampe ngebuli separah itu sama Anyara. Padahal gue dulu juga pernah dibuli sama Jevias."

"Gue bener-bener berharap sama Tuhan supaya gue selalu inget lo." Kenzie mengusap kepala Belva. Ia masih mempertahankan lengkungan tipis miliknya, sedang Belva membeku dengan bahu tegang. "Soalnya lo udah mati-matian buat bikin gue lepas dari karakter cerita. Gue ... milik lo lagi sekarang."

***

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang