7. Tokoh dalam Novel

891 62 1
                                    


MENDESAH kasar. Belva mengatupkan bibir rapat-rapat, memutar arah pandangan pada seorang cewek yang duduk di sampingnya. Raya menatap antara takut dan khawatir. Semuanya. Raya sudah menjelaskan segala yang ia tahu tentang kejadian aneh yang menimpa dirinya. Juga kenyataan dibalik keberadaan Belva, Kenzie, dan Anyara.

Mereka duduk berdua dalam kelas. Karena Kenzie tengah latihan basket, nyaris seantero sekolah berkerumun di tepi lapangan. Menyaksikan pertandingan dan pesona sang most wanted. Rasanya Belva selalu ingin membuat pagar agar cewek-cewek ganjen itu tidak bisa melihat kharisma Kenzie. Dan kali ini, karena cewek gila yang tiba-tiba saja datang ini, Belva jadi kehilangan kesempatan menyemati sang pujaan hati.

"Jadi, lo bilang kalo ini tuh sebenernya dunia novel? Terus lo masuk ke novel buatan lo? Gitu?" Lagi-lagi menghela napas kasar, Belva memutar arah duduknya. Menyerong menghadap Raya, satu tangannya di atas meja. Sedang yang lainnya bertengger di kursi.

"Lo setan, kan?"

"Bukannya muka aku terlalu cantik buat jadi setan, ya?" Raya memegangi kedua pipinya. Sedikit memajukan bibir. Membuat Belva bergidik. Tangannya gatal ingin menggaruk wajah sok imut itu. "Tapi, Belva, aku serius. Aku yang nulis karakter kamu. Aku juga gak tahu gimana caranya aku bisa masuk ke dunia novel ciptaan aku sendiri."

"Teori gue cuma satu."

Raya menatap cerah Belva, lantas bertanya penasaran, "Apa? Kamu tahu kenapa aku bisa masuk ke dunia novel?"

"Satu-satunya jawaban yang paling logis adalah pertama lo setan. Kedua lo punya masalah gangguan jiwa makanya lo nganggep diri lo masuk ke dunia lain. Padahal, sih, lonya arwah gentayangan aja, kan?"

"Gak mungkin! Aku masih hidup! Orang kemarin aku baru balik lagi ke dunia asli aku. Tapi, sekarang kelempar lagi ke sini."

"Au, ah!" Belva menggebrak meja. Berdiri hingga membuat kursinya bergeser ke belakang. Dia menatap nyalang Raya. "Denger, ya. Pokoknya jauh-jauh dari gue. Gara-gara lo gue dianggep gila."

"Belva, kamu harus tahu sesuatu–"

"Diem! Setan kayak lo mending enyah dari hadapan gue."

°°°

Antagonist

"Gue cemburu. Gue gak suka ngelihat lo pentingin cewek lain padahal lo dulu selalu prioritasin gue. Tapi, lo bahkan sama sekali gak acuh."

°°°

"Ken!"

Sang pemilik nama menoleh. Berdiri di tepi lapangan, mengambil botol dari dari dalam tas, Kenzie meneguknya beberapa kali. Jakunnya sampai bergerak naik turun. Beberapa kaum hawa menelan saliva melihatnya. Radit berlari ke arah Kenzie, satu tangannya mendribel bola basket sebelum akhirnya dia lempar ke arah sang teman. Kemzie spontan menangkapnya.

"Gue mau lengser dari tim sementara."

Alis Kenzie berkerut. "Kenapa? Lo muak karena nama gue terus yang diteriakin cewek-cewek?"

"Enggak, njir. Geli banget dengerin teriakan alay mereka." Radit bergidik. "Gue mau fokus sama olimpiade dulu. Tahu sendirilah nyokap gue hebohnya kayak apa waktu denger gue diikuti olim kimia pertama kalinya. Langsung kejer dia."

Kenzie berdengus kecil, juga Radit yang teringat tingkah mamanya. "Yah, terserah lo aja. Padahal bentar lagi ada turnamen sama sekolah tetangga."

"Ya kalo itu, sih, baek-baek lo yang cari solusi. Ajakin aja tuh si Gema."

"What's uuppp! Nama gue disebut-sebut."

Gema muncul dari arah lain. Mengangkat kedua tangan, melambaikan pada dua temannya. Begitu berdiri di samping Radit, cowok itu meringis kala perutnya disikut. Gema memelototi Radit. Temannya itu tersenyum lebar bagai tak berdosa.

"Salah gue apa, pe'a?!"

"Muka lo selalu minta dihajar. Bikin gue gak nahan," jawab Radit lempeng. Gema balik menendang tulang kering cowok itu. Radit mengaduh, menjeritkan kata 'anjir' lebih kencang. Gema mendengkus. "Mampus!"

"Gue tarik omongan gue, Ken. Jangan masukin dia ke tim." Radit jadi menyesal sendiri. Merekomendasikan Gema tapi diperlakukan senista ini. Walau sebenarnya dia duluan yang mengibarkan bendera perang, Radit malah menutup mata.

"Eh, eh? Tim apaan, nih? Gue mau dimasukin ke tim basket, he? Mau, dong! Gue mau ikutan!" Gema heboh. Walau tidak terlalu pintar, tapi setidaknya dia tahu teknik-teknik permainan ini. Tidak terlalu mengecewakan. Kenzie tidak memasukkan ke dalam inti karena kemampuan orang lain lebih bagus ketimbang Gema.

Tapi, berhubung Radit keluar, entah sampai kapan, dan turnamen tinggal menghitung hari, Kenzie menimbang-ninbang sesaat. Mengamati Gema dari ujung kaki sampai ujung kepala. Cowok itu menatapnya dengan mata cerah. Kenzie menganggukkan kepala pasrah. Kasihan juga.

"Boleh, deh. Asal gak malu-maluin, lo ikut main di pertandingan besok." Selaku ketua basket, dipercaya sejak awal kelas sebelas, Kenzie tidak mau melakukan kesalahan sedikit pun. Seingatnya permainan Gema cukup bagus. Cowok itu bisa melakukan dunk dengan baik. Kenzie merasa tidak ada salahnya Gema mencoba ikut pertandingan.

"Yess! Thanks bat, my broh. Lo temen kesayangan gue." Gema cungar-cungir. Kenzie cuma membuang muka, memutar bola mata malas.

"Hm. Jangan tunjukkin gigi di depan gue. Gak minat."

Radit tertawa. Gema memberengut.

"Nista banget lo sama temen sendiri," sungut Gema. Dia mengalihkan pandangan, tanpa sadar melihat Belva yang berjalan di koridor. Keningnya berkerut. Gema lebih memperhatikan saksama. "Eh, itu bukannya si nenek lampir yang suka ngejar-ngejar lo, kan? Wah, makin sinting dia lama-lama."

Radit ikut menoleh mengikuti arah mata Gema. Dia mengerjap. Melihat Belva berbicara sendiri, sesekali memencak menolehkan kepala dan memelototi udara. Belva seolah tengah bersama seseorang. Tapi, tidak ada siapapun di sisinya.

"Mengkhawatirkan." Radit menyenggol lengan Kenzie. Membuat si empunya menolehkan kepala, menatap bertanya pada temannya. Radit melanjutkan, "Noh, tuh. Sahabat masa kecil yang terus-terusan lo tolak sekarang mulai nunjukkin gejala-gejala."

Gema mendengkus. "Cewek gatel, ganjen, gak tahu diri kayak dia. Cuih! Gue pengen nemplok nasi basi ke mukanya si Belva."

"Kok jadi lo yang sensi, sih?" Radit tertawa geli. "Lo jangan benci-benci, nanti naksir tahu rasa lo."

"Idiw! Amit-amit jabang orok. Lo bilangin si Kenzie tuh yang tiap hari ngomelin Belva pake kekerasan fisik segala lagi. Terakhir kali lengennya Belva yang kena, kan?" Menunjuk-nunjuk wajah Kenzie, Gema menurunkan tangannya mendapatkan tatapan dingin dari ketua basket.

"Lo harus kontrol emosi lo, Ken." Radit menepuk pundak Kenzie. Membuyarkan tatapannya dari Gema. Dia menghela napas saja. Radit melanjutkan, "Gimana pun juga Belva cewek, loh. Lo kebayang, gak, Anyara digituin cowok lain?"

"Gue gak bakal nekat kalo cewek uler itu tahu diri," ketus Kenzie. Menunduk memasukkan botol minumnya ke dalam tas, Kenzie meraih tali tas dan menggendongnya dengan satu tangan. Dia menatap Belva dari tempatnya berada. "Lagian, buat cewek yang selalu nyakitin orang lain, sesekali dia juga harus disakitin supaya gak makin ngelunjak."

"Tapi, lo ciderain fisiknya, apa itu gak berlebihan?" Radit selalu khawatir. Bukan karena Belva. Tapi, sebab Kenzie yang terlalu mudah marah, tidak mau mendengarkan siapapun ketika api mengobar dalam dirinya. Pada akhirnya itu juga akan menyusahkan semua orang.

"Gue tahu mana yang pantes dapetin itu dan yang enggak. Lo gak perlu terlalu ngerecokin hidup gue lebih jauh. Gue tahu apa yang mesti gue lakuin."

Sedetik itu, Kenzie pergi dari lapangan. Terdengar embusan napas kasar, Radit hanya menatap punggung sang teman dengan pandangan rumit.

***

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang