25. Latar yang Lain

803 63 15
                                    


Termenung. Belva berdiam diri dalam kamar, sendirian. Berbaring di atas tempat tidur dan menatap langit-langit ruangannya yang masih benderang. Cewek itu berpikir. Ia sengaja mengusir Raya keluar. Perdebatan mereka cukup berat. Tidak mau melihat wajah cewek itu dulu, Belva mengancam akan menganggap Raya tidak pernah ada dan mengabaikannya seperti mereka tidak pernah bertemu.

Raya menurut. Hingga sampai pukul tengah malam ini, ia tidak menunjukkan wajahnya di depan Belva.

Sebenarnya Belva sedikit merasa aneh. Belva tidak mengerti. Kenapa Raya bisa masuk dalam novelnya? Kenapa cewek itu mesti seausah payah ini menyelamatkannya? Raya sendiri yang menentukan takdir Belva. Kenapa seakan ia ingin merevisi ceritanya?

Menghela napas berat, Belva bergerak miring ke kanan. Ia menumpukkan dua tangannya di atas pipi. Tangannya meraih ponsel di nakas dan menyalakannya. Belva membika aplikasi pesan. Membaca chatnya dengan Kenzie yang nyaris tak pernah terbalas. Hanya riwayat chat terakhir yang membuatnya berdebar.

"Kenzie," gumam Belva, lantas tersenyum tulus, "lo emang Kenzie gue. Gue gak bakal biarin novel sialan ini ngambil alih kehidupan lo."

°°°

Antagonist

"Gak butuh banyak waktu, kenapa kamu tiba-tiba bertingkah seakan gak kenal sama aku?"

°°°

"Uangnya, Pak." Anyara keluar dari angkot dan menyerahkan uang pada sang supir. Ia memakai seragam sekolah lengkap. Tas pinknya menggantung di punggung. Rambutnya tergerai panjang, anakannya sedikit diempas angin sepoi-sepoi pagi hari. Cewek itu tersenyum ramah. "Makasih, ya, Pak."

Anyara kemudian berjalan menyusuri trotoar depan sekolah. Melangkah masuk melalui gerbang ke halaman luas. Ia melihat jam di ponselnya dari dalam saku. Sudah nyaris pukul tujuh. Anyara menghela napas. Untung dia tidak telat. Hari ini ia bangun sedikit kesiangan. Belum lagi mesti memasak dan menyiapkan gorengan untuk jualan.

Biasanya Kenzie selalu menjemput Anyara. Tapi, sejak kemarin, cowok itu kelihatan berbeda. Anyara ingin mendekat dan menanyakan kenapa Kenzie tampak sedikit dingin. Barangkali Anyara berbuat salah atau menyinggungnya, ia akan meminta maaf.

Melangkah di sepanjang koridor, berjalan menuju kelasnya, Anyara tiba-tiba menghentikan langkah ketika melewati satu kelas. Kelas IPA 1, kelas Kenzie bersama murid pintar lainnya. Kalau saja Anyara sekelas dengan Kenzie dan tidak terdampar di IPA 2, mungkin akan lebih mudah dia mengobrol dengan cowok itu. Karena Kenzie cukup terkenal, Anyara tidak seringkali tidak berani terlalu mendekati cowok itu. Apalagi sampai masuk kawasan kelasnya. Anyara sadar tidak sedikit yang menyukai kedekatannya dengan Kenzie.

Anyara mengedarkan pandangannya, mencari eksistensi Kenzie. Tapi, ia tergugu ketika menemukan cowok itu bersama Belva. Anyara terdiam sejenak. Dia memperhatikan saksama. Belva duduk di bangku yang biasa Kenzie tempati. Sedangkan cowok itu duduk di atas meja di depan Belva. Anyara tidak terlalu dengar apa yang mereka bicarakan. Meski Belva kelihatan kesal, tapi Kenzie tampak tidak membiarkan cewek itu pergi.

Sejak kapan Kenzie dan Belva jadi sedekat ini? Anyara bahkan mendengar teman-teman Kenzie di sana juga menyoraki mereka. Mengatakan tumben Kenzie membawa Belva ke kelasnya. Tapi, Kenzie tidak menjawab.

"Gue mau balik ke kelas gue." Belva beranjak dari kursinya. Tapi, sedetik kemudian, Kenzie mendorong bahunya. Membuatnya kembali terduduk. Mendongak, melayangkan pandangan horor. Belva menatap sedikit heran. "Lo kenapa, sih? Gue ada PR belum gue kerjain. Gue mau nyontek Fiara."

"Bukannya gue lebih pinter daripada temen lo? Kenapa gak minta bantuan sama gue?" Kenzie mengangkat kakinya, memblokir jalan keluar Belva. Ia menumpukan lengannya di atas lutut. Membungkuk, menaikkan sebelah alis.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang