16. Dunia Novel

670 54 0
                                    

BELVA akhirnya pulang. Ia sempat melihat jam di ponselnya. Sudah nyaris pukul sepuluh. Ia keluar diam-diam dari rumah tiap malam selama beberapa hari ini. Demi mencari tahu kejadian bab delapan, Belva mesti mengendap-endap dari sang papa. Untungnya Belva beralasan ia belajar dan akan langsung tidur, memastikan sang papa untuk tidak perlu menganggunya.

Ia masuk dalam rumah, melangkah dengan derap kaki terendam di antara ruangan gelap. Baru saja Belva hendak menaiki anak tangga, ia membeku ketika lampu menyala. Cewek dengan tudung menutupi kepala itu meringis dalam hati.

Mampus gue.

"Abis dari mana?" Pertanyaan berat itu kedengaran dekat sekali. Tanpa perlu menebak, Belva yakin sang papa berdiri tepat di belakangnya. Perlahan memutar badan, Belva menarik tudung dari kepalanya.

"Abis beli barang." Belva menggigit bibir dalamnya, maniknya mengerling ke arah lain. Dirga menghela napas. Belva benar-benar tidak pandai berbohong.

"Papa serius, Belva. Kamu dari mana? Kenapa sampe ngendap-ngendap gitu? Kamu juga gak bilang mau keluar. Ini udah larut dan kamu pergi tanpa izin dari Papa. Kalau kenapa-kenapa gimana? Terus kalau Papa telat dateng–"

"Pa." Belva memotong, memeluk lengan sang papa. Ia menatap bersalah. "Belva gak apa-apa, kok. Tadi emang ada urusan sebentar abis itu langsung pulang. Papa gak usah khawatir, ya?"

Dirga menatap rumit Belva. Ia lalu mendekap putrinya erat-erat. Napasnya kedengaran tidak beraturan. Sekilas Belva merasa sang papa berlebihan. Tapi, ia tidak mempermasalahkan hal itu sedikit pun.

"Jangan diulangi lagi. Kalau mau ke mana-mana kamu harus bilang sama Papa. Ha–rus."

"Belva minta maaf. Besok gak bakal ngulang lagi." Belva balas memeluk sang papa. Memejamkan mata, menikmati kehangatan keluarga satu-satunya seperti biasa.

Di anak tangga paling atas, Raya tersenyum.

°°°

Antagonist

"Gue sesekali ngerasa aneh. Kita dulu sedeket ini tapi kenapa sekarang gue ngebenci lo banget."

°°°

"OPER, KEN!"

Radit berteriak di tengah lapangan, berlari di antara lawan. Kenzie yang tidak jauh darinya melempar bola ke arahnya. Radit langsung menangkap, melakukan dribel dan shoot dengan jarak dua point. Gema melakukan tos padanya.

"Nice!"

"Gue gitu. " Radit mengibaskan kerah, tersenyum sombong. Gema berdecih.

"Cih! Gue juga bisa!" Gema memberengut, merasa direndahkan. Walau tahu cuma bercanda, tapi fakta Radit dan Kenzie lebih baik darinya juga membuat Gema kesal.

"Eh, Ken. Belva, tuh." Radit tiba-tiba menunjuk dengan dagunya ketika Kenzie mendekat ke arah mereka. Cowok itu mengikuti arah dagu Radit. Seketika maniknya menemukan Belva yang duduk di gazebo sekolah sambil bertopang dagu melohat ke arah lapangan.

"Terus?" Kenzie menaikkan sebelas alis.

"Ya, gak terus-terus. Cuma ngomong doang juga."

Gema memutar bola mata. Ia ikut berbicara, "Udah, Ken. Gak usah ngeladenin nenek sihir kayak dia. Psiko banget, anjir. Lo bisa gila entar."

"Kenzie juga psiko kali. Cocok mereka," komentar Radit tanpa memalingkan kelereng hitamnya dari Belva.

Mendengar perkataan Radit, Gema melotot horor. "Lo jodohin mereka? Sinting lo! Jangan didengerin dia, Ken. Udah paling bener lo sama Anyara. Radit emang otaknya sengklek gak kira-kira."

Kenzie tidak menghiraukan perdebatan mereka. Ia cuma terdiam, memandang Belva yang tampak melamun. Rasanya sedikit aneh. Biasanya cewek itu akan ada di sisi lapangan. Berteriak tidak punya malu dengan tangan membawa botol air. Tapi, beberapa hari ini ia lebih tenang. Hal itu malah membuat Kenzie gusar.

"Lanjut, Ken!"

Teman Kenzie yang lain berteriak, menyadarkan Kenzie dari lamunannya. Cowok itu mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menggelengkan kepala. Tidak seharusnya Kenzie peduli. Seharusnya Belva yang seperti ini malah membuat Kenzie damai. Dia harus kembali berlatih. Turnamen hanya tinggal menghitung hari.

Sementara Belva masih dengan pikirnya. Cewek yang duduk sendirian di mata orang lain itu menghela napas panjang. Raya yang berada di sampingnya tidak mengeluarkan reaksi apa pun selain kedipan lugu.

"Gue masih gak percaya. Tapi, agak percaya. Akh, bingung!" Belva mengerang sebal. Dia menyelipkan anak rambutnya ke balik telinga seraya cemberut.

"Bel, kalau gak percaya aku kasih bocoran lagi mau? Nanti di bab sembilan ada ade–"

"Enggak, gak usah." Belva menyela, tidak mau mendengarkan dulu. Ia menoleh pada cewek dengan baju yang masih tidak berubah dari beberapa hari lalu. Raya memang belum menghilang dari pandangannya sejak beberapa hari lalu. "Gue gak mau terima ini dunia novel. Enak aja Kenzie ending–nya sama Anyara sedangkan gue malah mati. Enggak, gue gak mau percaya!"

"Yah, Belva. Aku kasih bukti lagi, deh. Gimana?" Raya menurunkan bahu lemas. Ia memberi sorot memohon pada Belva. Tapi, Belva terlihat enggan.

"Ya, terus gue mesti gimana dong? Gue denger sama ngeliat semua yang terjadi kemaren rasanya mau gila tahu, gak?"

"Bel, aku dateng gak mau sia-sia. Dari awal aku pengen nyelamatin kamu. Makanya aku minta kamu untuk percaya dulu kalau ini dunia novel yang aku buat."

Belva menatap rumit Raya. Ia ingin berbicara namun kembali membungkam bibir kala tidak tahu mesti mengucapkan apa.

"Bel, aku gak mau kamu mati. Gak mau."

"Lagian siapa juga yang mau mati, sih?" Belva bertanya frustrasi. Ia makin bingung. Pelik dengan semua yang terjadi. "Lagian gimana bisa lo masuk ke sini kalau emang ini dunia novel?"

"Kalau itu ... aku kurang tahu. Tapi, yang penting aku mau kamu tetep hidup."

"Alasannya? Gue antagonis, lho. Lo yang bikin gue mati di cerita kenapa tiba-tiba mau nyelamatin gue?" Belva berkata sinis. Perkataan yang mengatupkan bibir Raya serapat-rapatnya. Perkataan yang membuat cewek itu terpekur dan melamun.

"Aku ... yah, cukup aku aja yang tahu." Raya nyengir. Belva mendengus. "Jadi, gimana? Percaya, ya, kalau ini emang dunia novel? Kamu mau kan aku selametin? Mau, ya? Ya? Ya?"

"Ck, gue tuh masih– aduh!" Belva menjerit ketika sebuah bola menghantam kepalanya. Ia memejamkan mata, meringis merasakan kepalanya yang nyut-nyutan. Dia meluruskan pandangan elang. Seketika tersentak mendapati Kenzie sudah di depan mata.

"Sorry."

Singkat, padat, jelas.

Kenzie mengambil bola basket lalu berbalik tanpa kata-kata lagi. Belva menganga melihat itu. Tangan Belva bahkan merasakan kepalanya agak benjol. Bisa-bisanya Kenzie semudah itu bilang 'sorry'.

"Kenzie! Tanggung jawab, dong!" Belva berteriak keras. Dia menekuk riak wajahnya. Memberikan pandangan sebal. Sempat melirik ke belakang, Kenzie hanya tersenyum culas.

"Kenzieeeee! Gue aduin ke Tante Laura lo!"

Walau sudah diancam, kenzie tetap tidak peduli. Ia cuma tersenyum saja. Bergumam kecil, "Akhirnya balik lagi."

***


Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang