54. Hal yang Tidak Akan Berubah

237 27 0
                                    

Kenzie menepati perkataannya siang tadi. Kini, mereka berada di tengah pasar malam. Belva saat ini  mengenakan baju selengan dan celana kulot jeans. Rambutnya diikat kucir kuda dan tas selempangnya menyilangi tubuh mungilnya. Sedang Kenzie  mengenakan hoodie abu-abu. Cowok itu berjalan mengekori ke mana pun Belva pergi. Tapi, sejak mereka sampai Belva cuma melihat-lihat sekitar.

"Lo mau beli sesuatu?" Kenzie menawar. Belva menoleh lalu berpikir beberapa lama sebelum akhirnya menggeleng. Kenzie kembali menawar, "Mau naik wahana?"

"Enggak. Males." Belva menjawab acuh tak acuh. Ia memilih meraih tangan Kenzie dan menariknya  ke kedai es krim. "Beliin ini aja."

Kenzie hanya mengangguk. Ia berkata pada sang penjual, "Pak, es krim cokelat satu, ya."

"Oke, Mas. Sebentar."

"Lo gak mau?" Belva bertanya karena Kenzie cuma memesan satu. Ia tahu Kenzie jug8a suka es krim.

"Lagi enggak pengen aja," jawab Kenzie. Ia merapikan anak rambut Belva sambil menundukkan kepala, menatap serius wajah cewek yang lebih pendek darinya. "Masih ngerasa gak nyaman?"

"Enggak juga." Belva menggeleng. Ia tahu maksud pertanyaan Kenzie berkaitan dengan perkataannya siang tadi. Cowok ini rupanya benar-benar memikirkannya, ya. Ia menyengir kemudian. "Gue lebih tenang karena lo perhatiin kayak gini."

Kenzie ikut tersenyum. Saat penjual es krim memanggilnya, Kenzie segera membayar dan Belva menerima pesanannya. Cowok itu kemudian berujar kala Belva mulai menjilat es krim cokelat besar di tangannya, "Bel, gue ke toilet dulu. Lo tunggu di sana gak apa-apa, kan?"

Kenzie menunjuk dengan kedua bola matanya ke arah bangku kosong tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Belva hanya mengangguk seperti anak kucing lugu. Mengelus kepala Belva sebentar, Kenzie kemudian melesat pergi lebih dulu. Sedang Belva berjalan ke arah bangku kosong kayu itu dan duduk menunggu.

Duduk anteng, mengamati orang lalu lalang di sekitarnya, Belva menikmati es krimnya dengan hikmat. Sampai tiba-tiba lampu area pasar malam mati dan kegelapan menyelimuti keadaan dalam sekedip mata. Belva berhenti memakam es krimnya ketika merasakan sesuatu mencengkeram belakang lehernya.

"Jangan teriak. Atau Kenzie yang bakal kenapa-kenapa."

Belva menegang. Ia nyaris menoleh ke belakang tapi seseorang di belakangnya tiba-tiba menunjukkan ponselnya ke depan wajah Belva. Memperlihatkan foto Kenzie yang tergeletak tak sadarkan diri dengan kepala berdarah. Belva membelalak horor. Belva tidak bisa menerka di mana Kenzie dalam foto itu karena sekitar cowok itu tampak gelap.

"Ikut aku kalau mau tahu dia di mana sekarang." Pelaku itu menarik ponselnya dari hadapan Belva. Menyimpannya dalam saku jaket hitam yang ia kenakan. 

"Anyara, lo gila?" Belva mendesis, melirik bengis lewat sudut mata. Tanpa perlu melihat pun, ia tahu suara cewek yang berbicara dengannya sejak tadi. Ia sungguh tidak akan mengira cewek ini akan melakukan hal nekat begini. Apalagi sampai menyakiti Kenzie, cowok yang Anyara bilang cinta.

Satu hal yang Belva yakini. Cewek itu tidak sendiri. Satu-satunya nama yang terlintas dalam kepalanya adalah Jevias Pargata Nagara. 

Sosok yang selalu terluka karena eksistensi Kenzie dan selalu membencinya sampai mati. 

°°°

Antagonist

"Ayo, main sama gue, Kenzie. Siapa yang kalah dia harus mati."

°°°

Belva mengekori Anyara dari belakang. Cewek yang berjalan tegap tanpa menoleh sedikit pun ke belakang itu tidak bersuara dan terus melangkah masuk ke gang setengah gelap dan memasuki area gedung tidak terpakai. Mereka menaiki tangga. Satu-satunya cahaya yang bisa menyeruak dalam ruangan itu berasal dari lampu-lampu dari luar.

Belva tidak tahu mereka ada di mana. Ia bahkan juga tidak tahu apakah Anyara benar-benar membawanya pada Kenzie atau tidak. Tapi, Belva tidak punya pilihan lain selain mengikutinya dan memastikan keadaan yang sebenarnya terjadi. 

Sampai cewek itu tiba-tiba berhenti, membuat Belva ikut terdiam beberapa langkah di belakangnya. Anyara menoleh dan berbalik perlahan, membuka tudung di kepalanya dan memperlihatkan air wajah dingin dan tatapan datar seolah dia adalah Anyara yang lain. Belva menajamkan penglihatan, mengepalkan tangan bersiap melayangkan tinju kalau-kalau Anyara menyerang. 

"Belva, sekali lagi aku mau tanya sama kamu. Kamu tahu kan penyebab Kenzie berubah? Kenzie terlalu berubah sampai aku ngerasa dia bukan Kenzie yang cinta aku lagi. Kamu bilang kamu penyebab dia berubah." Nada suara Anyara terdengar berat. Ia mengikis jarak sedikit demi sedikit. Belva tetap diam, tak mau dibuat terpengaruh. "Jadi, apa yang sebenernya kamu lakuin ke Kenzie?"

"Karena Kenzie yang selama ini ngejar-ngejar lo emang bukan Kenzie yang sebenernya. Gue cuma ngembaliin Kenzie yang asli." Belva membalas dingin. Maniknya bersirobok tajam dengan dua kelereng yang tampak hampa di depannya. 

Mendengkus. Anyara tampak tidak puas. "Kamu emang gak bisa diajak komunikasi, ya?"

"Lo sama Jevias yang nyerang Kenzie?" Belva menekan kalimatnya. Ia melangkah mendekat dan dalam sekali dorongan, Belva menindih tubuh Anyara seraya mencengeram kerah jaketnya. Ia berkata dengan nada berat, "Mending lo buruan kasih tahu gue di mana Kenzie. Atau gue perlu pukul lo dulu?"

"Tapi, cowok lo gak ke mana-mana, Belva."

Teralihkan. Atensi Belva seketika buyar dan berpindah pada suara langlah kaki yang semakin mendekat. Belva yang masih melayangkan tatapan dingin pada Anyara, menjauhkan tangannya dari leher cewek yang di bawahnya itu.

Belva bangun dari tubuh Anyara, berbalik, dan menemukan cowok dengan jaket hitam persis seperti Anyara itu melambaikan tangan dua kali sambil tersenyum. Jevias menghapus jarak, menarik tangan Anyara hingga berdiri di sampingnya, dan menepuk sekali pucuk kepala cewek itu.

"Anjing gue pinter banget."

Anyara memalingkan wajah ke arah berlawanan. Meski tidak suka dengan panggilan cowok itu, ia tidak bisa membantah. Anyara yang memutuskan menuruti perkataan Jevias. Ia yang memutuskan menkadi kaki tangan cowok berengsek itu demi tidak membiarkan Kenzie dan Belva bahagia sedikit pun.

"Ah, kalian bener-bener pasangan bajingan paling sampah yang pernah gue temuin." Belva meludah. Jevias menaikkan sebelah alis sebentar lalu tertawa.

"Gue sih emang bajingan. Tapi, Anyara masih amatir. Belum pantes dibilang bajingan."

"Lo pukul Kenzie? Sekarang dia di mana?"

"Lo liat sendiri, kan? Gak sama gue." Jevias mengendikkan bahu. Belva tidak bereaksi apa pun selain tidak berkedip. Jevias melanjutkan, "Mungkin masih di tempat dia sebelumnya."

"Sialan." Belva mengumpat. Ia ingin melengos pergi dari tempat itu dan mencari Kenzie. Tapi, tiba-tiba lengannya dicekal. Jevias menahannya. "Lepasin gue, Berengsek!"

"Buat sekarang, urusan gue baru mau dimulai." Jevias menyeringai lebar. "Rencana gue ngehancurin Kenzie ada di elo, sih, soalnya."

***

Vote dan komentar dibutuhkan. Terima kasih bagi yang telah membaca sejauh ini.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang