28. Rencana yang Lain

644 53 13
                                    

"Anyara!"

Terperangah.

Anyara spontan menghentikan derap langkahnya. Menoleh ke sumber suara, ia tergugu mendapati Kenzie berlari kecil ke arahnya. Hingga cowok itu berdiri di hadapannya, tersenyum lembut seperti biasanya.

Tapi, Anyara bergeming. Ia merasa sedikit aneh. Anyara pikir Kenzie akan pulang bersama Belva. Karena seharian ini cowok itu tidak menemuinya, Anyara berpikir Kenzie akan sedikit menjauh darinya.

"Kenapa gak nungguin gue?" Cowok yang menggendong tas dengan satu tangannya itu menaikkan sebelah alis. Anyara menarik tasnya yang nyaris melorot.

"Aku pikir kamu pulang sama Belva. Soalnya kalian kelihatannya baikan." Anyara menjawab sambil tersenyum kikuk. Matanya tidak bisa bersirobok dengan sepasang kelereng di depannya.

"Gue ... biasa aja." Kenzie menjawab ragu. Ia sebenarnya tidak terlalu paham apa yang terjadi. Kenzie ingat akhir-akhir ini ia sedikit dekat dengan Belva. Tapi, entah kenapa kini ia merasa berbeda. Kenzie bahkan ingat Belva ingin berbicara berdua saja dengannya. Hanya saja ... semua perkataan Belva hanya dengung. Dan perlahan ingatan tentang pembicaraannya mereka tidak jelas.

"Belva gak nyariin kamu?" tanya Anyara hati-hati.

"Enggak. Gak usah peduliin dia. Balik sekarang?" tawar Kenzie. Anyara mengangguk, lalu tanpa sepatah kata memilih berjalan lebih dulu. Kenzie yang mengekor di belakang diam-diam menahan gejolak dalam dada.

Tapi, lagi-lagi Kenzie tidak paham apa yang tengah dia alami.

Sementara di satu sisi, Belva berdiri lumayan jauh di belakang dua manusia itu. Ia menatap lurus. Menyorot dalam punggung Kenzie yang kian menjauh. Ia mendesah panjang seraya memejamkan mata menunduk.

"Raya berengsek," dia mengumpat.

°°°

Antagonist

"Gue bakal berontak di alur yang lo buat."

°°°

"Jev, nih." Seseorang melempar amplop cokelat ke atas meja cowok yang tengah bersandar, memejamkan mata dan meluruskan satu kaki pada bangku lain yang kosong. Jevias membuka kelopak mata. Menggulirkan sepasang bola nata pekat miliknya ke arah cowok gondrong yang kini duduk di meja.

"Taruhan semalem," dia meneruskan.

Menegakkan punggung, cowok yang duduk di bangku paling belakang mepet tembok itu mengambil amplop di atas meja. Ia membukanya, lalu mengernyih. "Lo korup?"

"Berani nuduh?" Cowok gondrong itu menelengkan kepala, menaikkan sebelah alis. Jevias mengangguk paham kemudian. Ia menyimpan amplop cokelat itu dalam tas hitamnya.

"Malem ini ada tanding lagi. Mau ikut?" Cowok gondrong itu menyugar rambutnya ke belakang. Lalu memutar arah duduk, menatap papan tulis di depan. Jevias berdeham sebagai jawaban. "Lo bisa mati padahal kemaren."

Jevias mengangguk saja. "Untungnya enggak. Gue mau balik duluan. Bilangin sama guru gue bolos."

Cowok gondrong itu menoleh ketika Jevias beranjak dari bangku, membawa tas hitamnya di punggung dengan satu tangan, lantas berjalan melewatinya begitu saja.

"Olim lo besok. Masih mau ikut?"

"Hm." Jevias mengacungkan jempolnya tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Sampai di depan pintu, ia berhenti teringat sesuatu. Cowok itu menoleh, menatap sang teman dari jarak lumayan jauh. Karena tengah istirahat, anak-anak lainnya masih belum kembali dalam kelas. Cuma ada dua tiga orang selain temannya itu.

Dunia Antagonist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang